Menyambut Publikasi Karya Ilmiah Sarjana
Agung Dwi Sutrisno*
Baru-baru ini, di kalangan para dosen mendapatkan edaran surat Dirjen
Dikti terkait dengan publikasi ilmiah sarjana, master dan doktor. Dalam
surat tersebut diungkapkan, yang menjadi
latar belakang adalah karena jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi di
Indonesia yang masih rendah, yaitu sepertujuhnya Malaysia. Memang tidak
disebutkan dalam surat edaran tersebut mengapa Malaysia yang menjadi ukuran. Mungkin
saja barangkali karena dulu merekalah yang justru belajar dari kita. Meskipun
saya menduga ada latar belakang lain selain yang dinyatakan dalam surat tersebut.
Terlepas dari latar belakang yang tidak diungkap dalam surat
tersebut, memang pasti ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya
adalah lulusan yang dihasilkan akan lebih maju selangkah, karena dipaksa untuk
menghasilkan publikasi karya ilmiah-yang selama ini hanya dilakukan beberapa
mahasiswa, dari ratusan bahkan ribuan mahasiswa di setiap perguruan tinggi-. Kedua, dosen pembimbing menjadi lebih
terpacu dalam mengawal tulisan ilmiah mahasiswa yang selama ini tidak atau
jarang dipublikasikan. Sebab, kalau dipublikasikan juga akan membawa nama baik
dosen dan institusinya.
Dampak negatifnya tentu akan menambah jangka waktu kuliah. Sebab,
yang selama ini tanpa publikasi ilmiah saja, sekali penulisan tugas
akhir/skripsi untuk tingkat sarjana rata-rata membutuhkan waktu satu semester.
Ini yang tergolong normal, sementara yang lebih dari satu semester juga tidak
sedikit jumlahnya. Di sisi lain, tugas dosen tentu menjadi bertambah, sehingga
porsi mendidik dan mengajar barangkali akan menyita waktu lebih banyak dari
pada untuk penelitian atau pengabdian masyarakat.
Dari dampak tersebut, tentu harapannya dampak negatif akan semakin
diminimalkan dan dampak positiflah yang akan terus dikembangkan. Hanya saja,
yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kesiapan dari pemerintah, perguruan
tinggi, dan mahasiswa dalam menghadapi kebijakan baru ini? Toh barangkali belum
semua mahasisa atau dosen mengetahui kebijakan baru ini. Oleh karena itu, kalau
kemudian ada slogan yang seringkali kita dengar bahwa “teknis itu mengikuti
gagasan”. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa siap teknis yang sudah
dirancang oleh pemerintah dan perguruan tinggi dalam mewujudkan gagasan tersebut?
Apalagi kini pemerintah juga menyadari bahwa perguruan tinggi
mempunyai kluster/kategori yang beragam berdasarkan penilaian kinerja
penelitiannya (salah satunya penilaiannya adalah publikasi karya ilmiah). Ada
yang terkategori perguruan tinggi mandiri, utama, madya, dan binaan serta
politeknik. Bagi perguruan tinggi mandiri, barangkali untuk mewujudkan
kebijakan baru tersebut tidaklah terlalu kesulitan, mengingat secara umum
publikasi ilmiah atau kinerja penelitiannya sudah dianggap seatle. Sementara semakin ke kategori yang terbawah, yaitu
perguruan tinggi binaan, tentu masalahnya akan menjadi lain. Sudahlah kinerja
penelitiannya belum seatle, kok malah
harus mewajibkan lulusan sarjananya menghasilkan publikasi ilmiah. Ditambah
lagi jumlah perguruan tinggi yang belum
mencapai kategori mandiri atau utama bukan hanya puluhan, tapi mayoritas
perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Belum lagi kalau kita bicara yang lebih teknis, baik teknis
pengeditan dari sisi isi tulisan dan format tulisan, pencetakan, pelatihan
editor, sertifikasi editor, insentif, dll. Kalaupun ada alternatif jurnal
ilmiah online, nampaknya apa yang diungkapkan Mendikbud M Nuh (Harjo, 16/2)
juga belum memperlihatkan kesiapannya. Yang jelas, jika sampai saat ini belum
ada gambaran jelas mengenai “teknis yang mengikuti gagasan” tadi, rasanya
terlalu dini untuk diberlakukan bagi mahasiswa yang belum lulus hingga Agustus
mendatang. Padahal ini sudah hampir memasuki bulan Maret, artinya hanya tersisa
waktu 6 bulan lagi untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Oleh karenanya perlu adanya alternatif-alternatif agar misi
pemerintah tetap dapat tercapai, sementara pihak kampus dan mahasiswa juga
tidak terlalu kaget dengan kabijakan baru tersebut. Misalnya saja dimulai dari
kalangan dosen terlebih dahulu, dalam setiap semesternya minimal harus membuat
publikasi ilmiah. Sambil dosen melakukan bimbingan penelitian mahasiswa,
publikasi ilmiahnya bisa digarap untuk kepentingan bersama. Artinya, publikasi
ilmiah yang nantinya akan diterbitkan, merupakan garapan antara dosen
pembimbing dan mahasiswa. Atau hanya mahasiswa dengan nilai tertentu saja yang
diminta untuk membuat publikasi ilmiah. Barulah jika sudah agak terbiasa (tidak
kaget), semua mahasiswa bisa diwajibkan membuat publikasi karya ilmiahnya.
Apapun jadinya, publikasi karya ilmiah mahasiswa perlu kita sambut.
Namun mestinya tidak boleh berhenti sampai di sini, sebab aplikasi temuan
ilmiah bagi peningkatan taraf hidup dan taraf berpikir masyarakat, jauh lebih
penting dari hanya sekedar publikasi. Lebih penting lagi bila semua masyarakat
bisa menikmati pendidikan dari yang dasar hingga perguruan tinggi, bukan
seperti menara gading yang hanya bisa ditonton oleh masyarakat. Inilah PR
berikutnya yang menjadi tugas pemerintah.
*Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
** dimuat di Harian Jogja, 23 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar