13 Maret 2014

Menyambut Publikasi Karya Ilmiah Sarjana



Menyambut Publikasi Karya Ilmiah Sarjana
Agung Dwi Sutrisno*
Baru-baru ini, di kalangan para dosen mendapatkan edaran surat Dirjen Dikti terkait dengan publikasi ilmiah sarjana, master dan doktor. Dalam surat  tersebut diungkapkan, yang menjadi latar belakang adalah karena jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi di Indonesia yang masih rendah, yaitu sepertujuhnya Malaysia. Memang tidak disebutkan dalam surat edaran tersebut mengapa Malaysia yang menjadi ukuran. Mungkin saja barangkali karena dulu merekalah yang justru belajar dari kita. Meskipun saya menduga ada latar belakang lain selain yang dinyatakan dalam surat  tersebut.
Terlepas dari latar belakang yang tidak diungkap dalam surat tersebut, memang pasti ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah lulusan yang dihasilkan akan lebih maju selangkah, karena dipaksa untuk menghasilkan publikasi karya ilmiah-yang selama ini hanya dilakukan beberapa mahasiswa, dari ratusan bahkan ribuan mahasiswa di setiap perguruan tinggi-. Kedua, dosen pembimbing menjadi lebih terpacu dalam mengawal tulisan ilmiah mahasiswa yang selama ini tidak atau jarang dipublikasikan. Sebab, kalau dipublikasikan juga akan membawa nama baik dosen dan institusinya.
Dampak negatifnya tentu akan menambah jangka waktu kuliah. Sebab, yang selama ini tanpa publikasi ilmiah saja, sekali penulisan tugas akhir/skripsi untuk tingkat sarjana rata-rata membutuhkan waktu satu semester. Ini yang tergolong normal, sementara yang lebih dari satu semester juga tidak sedikit jumlahnya. Di sisi lain, tugas dosen tentu menjadi bertambah, sehingga porsi mendidik dan mengajar barangkali akan menyita waktu lebih banyak dari pada untuk penelitian atau pengabdian masyarakat.
Dari dampak tersebut, tentu harapannya dampak negatif akan semakin diminimalkan dan dampak positiflah yang akan terus dikembangkan. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kesiapan dari pemerintah, perguruan tinggi, dan mahasiswa dalam menghadapi kebijakan baru ini? Toh barangkali belum semua mahasisa atau dosen mengetahui kebijakan baru ini. Oleh karena itu, kalau kemudian ada slogan yang seringkali kita dengar bahwa “teknis itu mengikuti gagasan”. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa siap teknis yang sudah dirancang oleh pemerintah dan perguruan tinggi dalam mewujudkan gagasan tersebut?
Apalagi kini pemerintah juga menyadari bahwa perguruan tinggi mempunyai kluster/kategori yang beragam berdasarkan penilaian kinerja penelitiannya (salah satunya penilaiannya adalah publikasi karya ilmiah). Ada yang terkategori perguruan tinggi mandiri, utama, madya, dan binaan serta politeknik. Bagi perguruan tinggi mandiri, barangkali untuk mewujudkan kebijakan baru tersebut tidaklah terlalu kesulitan, mengingat secara umum publikasi ilmiah atau kinerja penelitiannya sudah dianggap seatle. Sementara semakin ke kategori yang terbawah, yaitu perguruan tinggi binaan, tentu masalahnya akan menjadi lain. Sudahlah kinerja penelitiannya belum seatle, kok malah harus mewajibkan lulusan sarjananya menghasilkan publikasi ilmiah. Ditambah lagi jumlah perguruan tinggi yang  belum mencapai kategori mandiri atau utama bukan hanya puluhan, tapi mayoritas perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Belum lagi kalau kita bicara yang lebih teknis, baik teknis pengeditan dari sisi isi tulisan dan format tulisan, pencetakan, pelatihan editor, sertifikasi editor, insentif, dll. Kalaupun ada alternatif jurnal ilmiah online, nampaknya apa yang diungkapkan Mendikbud M Nuh (Harjo, 16/2) juga belum memperlihatkan kesiapannya. Yang jelas, jika sampai saat ini belum ada gambaran jelas mengenai “teknis yang mengikuti gagasan” tadi, rasanya terlalu dini untuk diberlakukan bagi mahasiswa yang belum lulus hingga Agustus mendatang. Padahal ini sudah hampir memasuki bulan Maret, artinya hanya tersisa waktu 6 bulan lagi untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Oleh karenanya perlu adanya alternatif-alternatif agar misi pemerintah tetap dapat tercapai, sementara pihak kampus dan mahasiswa juga tidak terlalu kaget dengan kabijakan baru tersebut. Misalnya saja dimulai dari kalangan dosen terlebih dahulu, dalam setiap semesternya minimal harus membuat publikasi ilmiah. Sambil dosen melakukan bimbingan penelitian mahasiswa, publikasi ilmiahnya bisa digarap untuk kepentingan bersama. Artinya, publikasi ilmiah yang nantinya akan diterbitkan, merupakan garapan antara dosen pembimbing dan mahasiswa. Atau hanya mahasiswa dengan nilai tertentu saja yang diminta untuk membuat publikasi ilmiah. Barulah jika sudah agak terbiasa (tidak kaget), semua mahasiswa bisa diwajibkan membuat publikasi karya ilmiahnya.
Apapun jadinya, publikasi karya ilmiah mahasiswa perlu kita sambut. Namun mestinya tidak boleh berhenti sampai di sini, sebab aplikasi temuan ilmiah bagi peningkatan taraf hidup dan taraf berpikir masyarakat, jauh lebih penting dari hanya sekedar publikasi. Lebih penting lagi bila semua masyarakat bisa menikmati pendidikan dari yang dasar hingga perguruan tinggi, bukan seperti menara gading yang hanya bisa ditonton oleh masyarakat. Inilah PR berikutnya yang menjadi tugas pemerintah.

*Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
** dimuat di Harian Jogja, 23 Februari 2012

Tidak ada komentar: