13 Maret 2014

Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Setengah Hati


Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta

Salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah kesehatan. Sehebat apapun seseorang, sekaya apapun seseorang kalau dirinya sedang sakit, maka kehebatan atau kekayaan itu menjadi sesuatu yang tidak berarti dalam hidupnya, kecuali kesembuhan itu sendiri.
Mengingat kesehatan adalah hak dasar bagi manusia, maka di dunia ini, hak tersebut sampai dicantumkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 yaitu; “hak kesehatan, hak kesejahteraan, jaminan kesehatan, cacat, janda, menganggur, PHK, hari tua” (Pasal 25 ayat 1). Demikian pula dalam Konvensi ILO tahun 1952 No.102, hak tersebut kembali dicantumkan “hak jaminan sosial, cacat, janda, menganggur, PHK, hari tua”. Indonesiapun kemudian meratifikasinya dalam UUD 1945 amandemen ke-4 tahun 2002 Pasal 28H ayat 3 “jaminan sosial adalah hak setiap warga negara”. Juga dalam Pasal 34 ayat 2 “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat..”dan ayat 3 “Negara bertanggung jawab  atas  penyediaan  pelayanan  kesehatan  dan  pelayanan  umum  yang layak”. Berdasarkan amanat inilah kemudian lahir UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) dan diberlakukanlah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari lalu.
Kita masih sering mendengar ada pasien yang ditolak rumah sakit gara-gara tidak punya uang, kita juga masih melihat ada bayi yang tidak bisa dibawa pulang ibunya gara-gara belum melunasi biaya di rumah sakit, dan masih banyak kasus serupa lainnya. Dengan mencermati sebagian pasal di atas, rasanya sebagai rakyat awam kita akan merasa lega, sebab urusan kesehatan akan dijamin/tanggung/diurus oleh negara. Namun setelah didalami lebih jauh, ternyata ada sesuatu yang ganjil. Pertama, jika pasal-pasal dalam UU tersebut di atas mengatakan bahwa kesehatan adalah hak warga negara, mengapa justru bentuknya adalah asuransi? Bukankah asuransi berarti gotong royong alias tanggung renteng, yang artinya masyarakat sendirilah yang akan menanggung/membayar kesehatan mereka? Bukankah asuransi pengertiannya jelas jauh berbeda dengan jaminan? Pasal 19 ayat 1 UU SJSN menjadi bukti nyata bentuk asuransi tersebut; “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Jika bentuknya adalah asuransi, lalu apa bedanya antara negara dengan perusahaan asuransi? Bukankah negara adalah organ yang telah diberi kontrak sosial oleh masyarakat untuk menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya kesehatan? Jelas, kalau bentuknya asuransi pasti akan memberatkan masyarakat secara umum.
Kedua, selain memberatkan masyarakat secara umum, JKN juga semakin menambah beban bagi kalangan pengusaha/swasta, sebab pemberi kerja juga berkewajiban membayari sebagian iuran/premi, yaitu 2% dari setoran asuransi tersebut, sementara yang 3% dari gaji karyawannya. Padahal logikanya jika kita mempekerjakan seseorang, maka mestinya kewajiban kita hanya sebatas membayar upah/gaji berdasar jasa yang dikeluarkan si pekerja. Sedangkan kesejahteraan umum masyarakat, keadilan, pendidikan, keamanan dan hak umum lainnya adalah kewajiban/tanggung jawab  negara. Sudahlah harus menggaji, para pengusaha/swasta juga dituntut untuk menjamin kesehatan, kesejahteraan, serta pendidikan mereka pula. Dan sudah pasti efek berikutnya akan kembali kepada masyarakat, sebab komponen tersebut nantinya akan diikutkan menjadi bagian dari ongkos produksi. Konsekuensinya harga barang atau jasa pasti menjadi naik/lebih mahal.
Ketiga, JKN bersifat wajib bagi seluruh masyarakat. Padahal mestinya mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk jaminan keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan hak umum lainnya adalah hak yang seharusnya diperoleh setiap warga negara alias kewajiban negara untuk mewujudkannya. Bukan justru sebaliknya kewajiban sendiri-sendiri bagi setiap warga negara. Jika yang terjadi demikian, maka pertanyaan sederhananya adalah lalu dimana peran negara, untuk apa negara ini ada tapi enggan menjamin warga negaranya. Dan ini jelas bertentangan dengan konsep yang dituangkan dalam UU di atas.
Oleh karenanya perlu terobosan baru dari pemerintah agar jaminan kesehatan nasional benar-benar jaminan yang berasal dari negara, bukan dari iuran/asuransi rakyat. Salah satu caranya misalnya dengan menjadikan pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang atau migas yang hari ini 86%-93% pengelolaannya di pegang asing (Saparini, 2009), dikembalikan pengelolaannya ke tangan negara. Yang dengan itu hasilnya dapat dikembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk jaminan kesehatan serta jaminan lainnya. Bukan jaminan setengah hati seperti ini. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: