Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
Salah satu unsur terpenting dalam
kehidupan manusia di dunia ini adalah kesehatan. Sehebat apapun seseorang,
sekaya apapun seseorang kalau dirinya sedang sakit, maka kehebatan atau
kekayaan itu menjadi sesuatu yang tidak berarti dalam hidupnya, kecuali
kesembuhan itu sendiri.
Mengingat kesehatan adalah hak
dasar bagi manusia, maka di dunia ini, hak tersebut sampai dicantumkan dalam
Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 yaitu; “hak kesehatan, hak kesejahteraan, jaminan kesehatan, cacat, janda,
menganggur, PHK, hari tua” (Pasal 25 ayat 1). Demikian pula dalam Konvensi
ILO tahun 1952 No.102, hak tersebut kembali dicantumkan “hak jaminan sosial, cacat, janda, menganggur, PHK, hari tua”.
Indonesiapun kemudian meratifikasinya dalam UUD 1945 amandemen ke-4 tahun 2002
Pasal 28H ayat 3 “jaminan sosial adalah
hak setiap warga negara”. Juga dalam Pasal 34 ayat 2 “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat..”dan
ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan pelayanan kesehatan
dan pelayanan umum
yang layak”. Berdasarkan amanat inilah kemudian lahir UU Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) dan
diberlakukanlah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari lalu.
Kita masih sering mendengar ada
pasien yang ditolak rumah sakit gara-gara tidak punya uang, kita juga masih
melihat ada bayi yang tidak bisa dibawa pulang ibunya gara-gara belum melunasi biaya
di rumah sakit, dan masih banyak kasus serupa lainnya. Dengan mencermati
sebagian pasal di atas, rasanya sebagai rakyat awam kita akan merasa lega,
sebab urusan kesehatan akan dijamin/tanggung/diurus oleh negara. Namun setelah
didalami lebih jauh, ternyata ada sesuatu yang ganjil. Pertama, jika pasal-pasal dalam UU tersebut di atas mengatakan
bahwa kesehatan adalah hak warga negara, mengapa justru bentuknya adalah
asuransi? Bukankah asuransi berarti gotong royong alias tanggung renteng, yang artinya masyarakat
sendirilah yang akan menanggung/membayar kesehatan mereka? Bukankah asuransi
pengertiannya jelas jauh berbeda dengan jaminan? Pasal 19 ayat 1 UU SJSN
menjadi bukti nyata bentuk asuransi tersebut; “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme
pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan
perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota
keluarganya.”
Jika bentuknya adalah asuransi,
lalu apa bedanya antara negara dengan perusahaan asuransi? Bukankah negara
adalah organ yang telah diberi kontrak sosial oleh masyarakat untuk menjalankan
kewajibannya dalam memenuhi hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya kesehatan?
Jelas, kalau bentuknya asuransi pasti akan memberatkan masyarakat secara umum.
Kedua,
selain memberatkan masyarakat secara umum, JKN juga semakin menambah beban bagi
kalangan pengusaha/swasta, sebab pemberi kerja juga berkewajiban membayari
sebagian iuran/premi, yaitu 2% dari setoran asuransi tersebut, sementara yang
3% dari gaji karyawannya. Padahal logikanya jika kita mempekerjakan seseorang,
maka mestinya kewajiban kita hanya sebatas membayar upah/gaji berdasar jasa
yang dikeluarkan si pekerja. Sedangkan kesejahteraan umum masyarakat, keadilan,
pendidikan, keamanan dan hak umum lainnya adalah kewajiban/tanggung jawab negara. Sudahlah harus menggaji, para
pengusaha/swasta juga dituntut untuk menjamin kesehatan, kesejahteraan, serta pendidikan
mereka pula. Dan sudah pasti efek berikutnya akan kembali kepada masyarakat, sebab
komponen tersebut nantinya akan diikutkan menjadi bagian dari ongkos produksi. Konsekuensinya
harga barang atau jasa pasti menjadi naik/lebih mahal.
Ketiga,
JKN bersifat wajib bagi seluruh masyarakat. Padahal mestinya mendapatkan
jaminan kesehatan, termasuk jaminan keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan hak
umum lainnya adalah hak yang seharusnya diperoleh setiap warga negara alias
kewajiban negara untuk mewujudkannya. Bukan justru sebaliknya kewajiban
sendiri-sendiri bagi setiap warga negara. Jika yang terjadi demikian, maka
pertanyaan sederhananya adalah lalu dimana peran negara, untuk apa negara ini
ada tapi enggan menjamin warga negaranya. Dan ini jelas bertentangan dengan
konsep yang dituangkan dalam UU di atas.
Oleh karenanya perlu terobosan baru
dari pemerintah agar jaminan kesehatan nasional benar-benar jaminan yang
berasal dari negara, bukan dari iuran/asuransi rakyat. Salah satu caranya
misalnya dengan menjadikan pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang atau
migas yang hari ini 86%-93% pengelolaannya di pegang asing (Saparini, 2009), dikembalikan
pengelolaannya ke tangan negara. Yang dengan itu hasilnya dapat dikembalikan
lagi ke masyarakat dalam bentuk jaminan kesehatan serta jaminan lainnya. Bukan
jaminan setengah hati seperti ini. Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar