13 Maret 2014

Disfungsi Negara dalam Kesejahteraan Buruh


Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta

Janji aksi akbar buruh pada 1 Mei benar-benar terjadi, puluhan hingga ribuan buruh melakukan aksi di berbagai daerah di Indonesia. Dari aksi yang damai hingga yang anarkis. Setidaknya dari demo ada beberapa tuntutan yang mengemuka. Pertama adalah kenaikan upah, kedua tuntutan agar 1 Mei dijadikan hari libur nasional, ketiga penghapusan sistem outsourcing, dan keempat adalah pemberlakuan segera sistem jaminan sosial yang sudah diundangkan.
Tuntutan kenaikan upah senantiasa mengemuka dalam setiap aksi buruh, sebab sepanjang hayat negri ini laju inflasi nyaris tidak pernah turun. Artinya, andai pernah ada kenaikan gaji sebelumnya sekalipun, pasti akan terasa berat untuk memenuhi tuntutan hidup pada bulan-bulan atau tahun berikutnya akibat adanya inflasi tersebut. Belum lagi ditambah faktor lain semisal kenaikan harga BBM dan lain-lain yang berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Dalam hal ini peran pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional menjadi sangat penting, sehingga inflasi dapat distabilkan bahkan justru diturunkan.
Sementara tuntutan agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional memang wajar mengingat sebagian besar penduduk Indonesia sesungguhnya adalah buruh. Sebab menurut UU No. 13/2003 buruh didefinisikan sebagai orang yang bekerja dengan menerima upah atau  imbalan dalam bentuk lain. Menurut definisi tersebut  pada dasarnya semua orang yang bekerja baik di perusahaan atau di luar perusahaan dan menerima upah atau imbalan adalah buruh. Jika definisi tersebut ditafsirkan sederhana, maka mulai penyanyi dangdut, tukang sapu, pegawai pabrik hingga profesor juga terkategori buruh. Inilah mengapa tuntutan tersebut bisa dikatakan wajar. Hanya saja jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari semua tuntutan buruh, yaitu kesejahteraan maka memang tidak terlalu signifikan.
Sedangkan tuntutan agar dihapuskannya sistem outsourcing, selama ini memang tetap menjadi dilema. Di satu sisi tingkat pengangguran di Indonesia tinggi sehingga banyak masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Di sisi lain perusahaan atau pengusaha juga merasa keberatan jika sistem kerjanya berkelanjutan (bukan kontrak), sebab pengusaha diberikan beban oleh undang-undang untuk turut serta dalam memberikan jaminan kesehatan bagi pekerjanya, jaminan hari tua, uang pesangon dan lain-lain. Sementara dengan sistem outsourcing, pengusaha tidak prlu menanggung selain upah dan uang makan atau lembur yang memang sudah menjadi haknya buruh. Dan ini tentu akan memberatkan pengusaha, sementara buruh juga merasa dirugikan. Guna menjembatani hal ini pemerintah lalu membuat kebijakan berupa sistem jaminan sosial nasional (berupa UU SJSN).

Disfungsi Negara
Tidak tuntasnya permasalahan buruh lebih disebabkan oleh saling kuatnya tarik menarik diantara pihak yang berkepentingan. Di satu sisi buruh /karyawan kontrak menginginkan hidup yang layak, adanya jaminan kerja yang berkesinambungan, kenaikan upah yang minimal setara dengan kenaikan biaya hidup, adanya jaminan kesehatan dan pensiun. Di sisi lain pengusaha menginginkan adanya keuntungan optimal dengan jumlah peningkatan yang signifikan dengan salah satu opsinya menekan ongkos UMR mapun UMK, sementara peningkatan kinerja buruh meningkat semaksimal mungkin. Selain itu pengusaha juga menginginkan upah yang diberikan pada buruh benar-benar hanya mencakup upah perjam ditambah uang makan, tidak termasuk  uang pensiun dan jaminan kesehatan, juga adanya ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai dan murah dan kelangsungan hidup perusahaan yang positif.
Sedangkan Pemerintah selama ini hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator semata. Padahal fungsi Negara seharusnya adalah sebagai penanggung jawab urusan rakyatnya. Artinya jaminan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dalam hal sandang, pangan, papan termasuk jaminan adanya pekerjaan adalah kewajiban Negara dan hak yang seharusnya didapatkan rakyat. Sementara faktanya, kini jaminan-jaminan tersebut justru dibebankan oleh Negara kepada pengusaha dan buruh sekaligus. Dalam UU SJSN misalnya, jaminan sosial yang ditawarkan pemerintah adalah dalam bentuk asuransi, yang dananya diambil dari uang para peserta (buruh) itu sendiri (pasal 17).
Jika fungsi Negara benar-benar jalan, maka di satu sisi pengusaha tidak akan terbebani oleh kewajiban menanggung jaminan-jaminan kesejahteraan buruhnya. Di sisi lain, jaminan-jaminan sosial berupa sandang papan, pangan, kesehatan dll, akan diperoleh buruh dari Negara. Sayangnya fungsi inilah yang rupanya tidak jalan di negri ini. 

** dimuat di Harian Jogja, 2 Mei 2013

Tidak ada komentar: