Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
Janji aksi akbar
buruh pada 1 Mei benar-benar terjadi, puluhan hingga ribuan buruh melakukan
aksi di berbagai daerah di Indonesia. Dari aksi yang damai hingga yang anarkis.
Setidaknya dari demo ada beberapa tuntutan yang mengemuka. Pertama adalah
kenaikan upah, kedua tuntutan agar 1 Mei dijadikan hari libur nasional, ketiga
penghapusan sistem outsourcing, dan keempat adalah pemberlakuan segera sistem
jaminan sosial yang sudah diundangkan.
Tuntutan kenaikan
upah senantiasa mengemuka dalam setiap aksi buruh, sebab sepanjang hayat negri
ini laju inflasi nyaris tidak pernah turun. Artinya, andai pernah ada kenaikan
gaji sebelumnya sekalipun, pasti akan terasa berat untuk memenuhi tuntutan
hidup pada bulan-bulan atau tahun berikutnya akibat adanya inflasi tersebut.
Belum lagi ditambah faktor lain semisal kenaikan harga BBM dan lain-lain yang
berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Dalam hal ini peran
pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional menjadi sangat penting,
sehingga inflasi dapat distabilkan bahkan justru diturunkan.
Sementara
tuntutan agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional memang wajar
mengingat sebagian besar penduduk Indonesia sesungguhnya adalah buruh. Sebab
menurut UU No. 13/2003 buruh didefinisikan sebagai orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Menurut definisi tersebut pada
dasarnya semua orang yang bekerja baik di perusahaan atau di luar perusahaan
dan menerima upah atau imbalan adalah buruh. Jika definisi tersebut ditafsirkan
sederhana, maka mulai penyanyi dangdut, tukang sapu, pegawai pabrik hingga profesor
juga terkategori buruh. Inilah mengapa tuntutan tersebut bisa dikatakan wajar. Hanya
saja jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari semua tuntutan buruh, yaitu
kesejahteraan maka memang tidak terlalu signifikan.
Sedangkan
tuntutan agar dihapuskannya sistem outsourcing, selama ini memang tetap menjadi
dilema. Di satu sisi tingkat pengangguran di Indonesia tinggi sehingga banyak masyarakat
yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Di sisi lain perusahaan atau pengusaha
juga merasa keberatan jika sistem kerjanya berkelanjutan (bukan kontrak), sebab
pengusaha diberikan beban oleh undang-undang untuk turut serta dalam memberikan
jaminan kesehatan bagi pekerjanya, jaminan hari tua, uang pesangon dan
lain-lain. Sementara dengan sistem outsourcing, pengusaha tidak prlu menanggung
selain upah dan uang makan atau lembur yang memang sudah menjadi haknya buruh.
Dan ini tentu akan memberatkan pengusaha, sementara buruh juga merasa
dirugikan. Guna menjembatani hal ini pemerintah lalu membuat kebijakan berupa
sistem jaminan sosial nasional (berupa UU SJSN).
Disfungsi Negara
Tidak tuntasnya
permasalahan buruh lebih disebabkan oleh saling kuatnya tarik menarik diantara
pihak yang berkepentingan. Di satu sisi buruh /karyawan kontrak menginginkan
hidup yang layak, adanya jaminan kerja yang berkesinambungan, kenaikan upah
yang minimal setara dengan kenaikan biaya hidup, adanya jaminan kesehatan dan
pensiun. Di sisi lain pengusaha menginginkan adanya keuntungan optimal dengan
jumlah peningkatan yang signifikan dengan salah satu opsinya menekan ongkos UMR
mapun UMK, sementara peningkatan kinerja buruh meningkat semaksimal mungkin. Selain
itu pengusaha juga menginginkan upah yang diberikan pada buruh benar-benar
hanya mencakup upah perjam ditambah uang makan, tidak termasuk uang pensiun dan jaminan kesehatan, juga
adanya ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai dan murah dan kelangsungan
hidup perusahaan yang positif.
Sedangkan
Pemerintah selama ini hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator semata.
Padahal fungsi Negara seharusnya adalah sebagai penanggung jawab urusan
rakyatnya. Artinya jaminan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dalam hal
sandang, pangan, papan termasuk jaminan adanya pekerjaan adalah kewajiban
Negara dan hak yang seharusnya didapatkan rakyat. Sementara faktanya, kini
jaminan-jaminan tersebut justru dibebankan oleh Negara kepada pengusaha dan
buruh sekaligus. Dalam UU SJSN misalnya, jaminan sosial yang ditawarkan
pemerintah adalah dalam bentuk asuransi, yang dananya diambil dari uang para
peserta (buruh) itu sendiri (pasal 17).
Jika fungsi
Negara benar-benar jalan, maka di satu sisi pengusaha tidak akan terbebani oleh
kewajiban menanggung jaminan-jaminan kesejahteraan buruhnya. Di sisi lain,
jaminan-jaminan sosial berupa sandang papan, pangan, kesehatan dll, akan
diperoleh buruh dari Negara. Sayangnya fungsi inilah yang rupanya tidak jalan
di negri ini.
** dimuat di Harian Jogja, 2 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar