‘Memikirkan Kembali’ Rencana Penambangan Pasir Besi Kulon Progo
Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
Jika Anda seorang penambang, lalu diberi
dua pilihan antara menambang pasir besi dengan menambang bijih besi, mana yang
akan Anda pilih? Jika Anda belum mendapatkan jawaban, mungkin gambaran ini akan
membantu.
Pertama, pasir besi bersifat lepas-lepas, dan berada di
permukaan tanah, mudah digali (sistem kering), atau disemprot (diurai) dengan
air, lalu disedot dengan pompa hisap, lalu dipisahkan dengan magnetic separator (sistem basah), dan siap dijual. Kedua, bijih besi bersifat masif, berada di dalam/bawah
tanah, menambangnya harus dengan cara digali atau bisa juga dengan cara
diledakkan terlebih dahulu. Setelah terberai lalu diproses dengan cara di-crusher (remuk) dilanjutkan dengan di milling (haluskan) pada ukuran tertentu sehingga
mudah dipisahkan antara bijih besi dengan batuan pengotornya. Pemisahannya juga
menggunakan alat yang sama, yaitu magnetic separator.
Memang, ini hanya pertanyaan retoris, karena saya
yakin Anda akan memilih jawaban yang pertama, yaitu menambang pasir besi.
Dengan produk akhir yang sama, tetapi proses menambang dan mengolahnya jauh lebih
sederhana. Dengan demikian secara logika, modal atau investasi yang diperlukan
mestinya juga lebih murah jika dibandingkan dengan menambang bijih besi.
Apalagi jika dikaitkan dengan lokasi. Pasir besi pada umumnya selalu
terendapkan di pantai, sedangkan bijih besi lokasinya di dalam tanah dan sulit
ditebak, kadang di dataran rendah, di pegunungan, di lembah lembah, di puncak
bukit, tergantung kondisi geologis dan tentu saja kebanyakan di dalam hutan.
Lalu apa hubungannya? Tentu saja di pantai lebih
mudah diakses dari dan menuju lokasi tambang. Selain itu untuk kepentingan
transportasi bisa dilakukan melalui laut atau darat. Sementara yang di tengah
hutan aksesnya lebih sulit, harus membuat jalan baru, terhalang rawa, sungai
dan medan lainnya. Dan ini berarti rantai investasi menjadi lebih panjang dan
mahal. Jadi, lagi-lagi investasinya lebih murah menambang pasir besi.
Oleh karena itu bisa dimaklumi mengapa kemudian
calon (investor) penambang pasir besi Kulonprogo ngebet ingin
segera menambang. Berdirinya pilot project dan
terkesan buru-burunya penandatanganan Kontrak Karya di tengah-tengah pro kontra
yang masih belum selesai (Harian Jogja, 5
November) setidaknya menjadi bukti ngebetnya investor
tersebut. Apalagi kebutuhan dunia akan bahan baku baja (pasir besi sebagai
bahan mentahnya) juga senantiasa meningkat, baik untuk industri otomotif,
elektronika, konstruksi maupun industri lainnya. China bahkan membutuhkan baja
dengan jumlah yang tidak terbatas dengan posisi negaranya yang sedang menjadi tuan
rumah Olimpiade 2008 dan Asian Games 2010 nanti.
Indonesia sendiri, Krakatau Steel membutuhkan
150.000 ton bahan baku baja per bulannya, kini baru bisa dipenuhi antara
10.000-15.000 ton per bulannya dari dalam negeri, selebihnya (yang berarti sekitar
90%-nya) masih harus diimpor dari luar. Belum lagi kandungan titanium dan vanadium yang
ada di pasir besi Kulonprogo harganya juga lebih mahal dari pasir besi dengan
volume yang sama. Jadi secara praktis, menambang pasir besi Kulonprogo menjadi
semakin menggiurkan.
Dikelola pemerintah
Pertanyaanya, lalu mengapa tambang pasir besi ini
tidak dikelola sendiri oleh pemerintah, tetapi justru diserahkan pada investor
asing? Bukankah pasir besi dan barang tambang lainnya adalah milik umum
(rakyat) dan pengelolaanya sudah dipercayakan kepada pemerintah? Lalu hasilnya
akan dikembalikan lagi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai
pemiliknya (amanat UUD 1945 pasal 33), baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan
pokok, pendidikan murah, kesehatan murah dll? Padahal pasir besi merupakan
golongan bahan galian vital, yang artinya penting bagi sebuah negara (PP No. 27
tahun 1980).
Hitung-hitungannya, jika dikelola oleh investor,
maka pemerintah ’hanya’ akan mendapatkan pajak sebesar US$20 juta per tahun
(jika 1 dolar adalah Rp 10.000 maka sama dengan Rp200 miliar), pendanaan lokal
US$7 juta (Rp70 miliar) per tahun dan royalti US$11,25 juta (Rp112,5 miliar)
per tahun (Harian Jogja, 5 November), dengan total US$38,25 juta
per tahun.
Pendanaan lokal yang sebesarUS$7 juta tersebut
hanya 1,5% dari hasil penjualan, dengan demikian nilai penjualan totalnya
adalah US$467juta per tahun (Rp 4,67 triliun). Dengan asumsi biaya operasional
sebesar 58% dari total penjualan (berdasarkan survei rata-rata biaya operasi
tambang di Indonesia tahun 2005 dan 2006 [PricewaterhouseCooper, 2007]), maka
pendapatan bersih investor tersebut per tahunnya adalah US$158 juta (Rp 1,58
triliun). Bahkan jika dikelola oleh pemerintah sendiri, maka penghasilannya
malah bisa mencapai US$196 juta per tahun atau Rp 1,96 triliun. Andai saja
hasilnya ’hanya’ untuk pemda semua, jumlah ini sudah melebihi PDRB Kabupaten
Kulonprogo tahun 2006 yang besarnya Rp1,525 triliun, atau 82% dari PDRB tahun
2007 yang besarnya Rp2,4 triliun (www.kulonprogo.go.id).
Lalu bagaimana dengan para petani pantai dan
bahaya kerusakan lingkungan? Sudah barang tentu motif antara pemerintah terkait
dengan penambangan dan pengelolaan lingkungan ini pasti berbeda dengan
investor. Jika pemerintah motifnya adalah kemaslahatan (benefi t), sedangkan investor tentu saja
keuntungan (profit).
Dan yang pasti pro kontra yang terjadi akan lain
ceritanya jika yang mengusahakan benar-benar pemerintah. Kontrak Karya memang
sudah ditandatangani, tetapi bukanlah kita pemilik sejatinya? Inilah PR kita
bersama untuk memikirkan kembali rencana penambangan pasir besi Kulon Progo.
Atau kita akan ditanya oleh generasi selanjutnya yang juga berhak atas pasir
besi tersebut? Wallahu a’lam.
dimuat pada koran Harian Jogja, 2 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar