22 Juni 2012

Kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan energy Indonesia dan solusinya menurut Islam

Agung Dwi Sutrisno*

Kita tahu bahwa Indonesia adalah Negara yang sangat kaya. Sampai sampai tahun 1973 kus plus membuat lagu khusus judulnya “kolam susu”, salah satu baitnya adalah “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman..”
Kalau lagu itu kita nyanyikan sekarang, saya rasa juga masih relevan. Apalagi sejak tahun 1996 setelah saya menggeluti dunia pertambangan, syair-syair itu menjadi semakin nyata kebenarannya. Jadi ini bukan perkara romantisme lagu, tapi memang Indonesia begitu kaya raya. Hingga membuat bangsa lain iri pada kita, belanda, jepang, dan kini lebih banyak lagi.
Sekedar contoh dengan luas 1.904.000km2 dan terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia memiliki pulau irian, terbesar ke2 dunia dengan luas 809ribu km2, pulau Kalimantan pulau terbesar ke4 dunia dengan luas 704ribu km2, sumatera terbesar ke6 dunia dengan luas 474ribu km2. Kalo dibentangkan di daratan eropa, maka akan setara antara inggris hingga sebagian rusia. Penduduknya terbesar ke4 dunia. 12% spesies mamalia ada disini, 16 % reptile dan amphibi ada disini, 17% spesies burung ada disini, 25% spesies ikan ada disini, 10% tsnaman dan bunga ada disini, jenis kupu terbanyak (121 spesies) juga ada disini.
 Kalau hanya disebut banyak pulau besar tapi tidak ada apa-apanya mungkin biasa saja, tapi kekayaan alam negri ini luar biasa melimpah.
Untuk mengungkap kekayaan daratan kita saya akan merujuk majalah terkemuka dunia The Economist yang setiap tahunnya menerbitkan buku world in figures. Yang didalamnya memuat rangking-rangking Negara dunia dalam beberapa hal tertentu. Timah misalnya, kita berada diurutan ke 2 dunia dengan produksi sebesar 78ribu ton/th, nikel rangking 5 dunia dengan produksi 96ribu/th, tembaga juga rangking 5 dengan produksi 842ribu ton/th, emas dan batubara berada di rangking 7 dengan produksi masing-masing 164 ton dan 81,4 jutan ton equivalen minyak. Pada 2010 indonesia juga menjadi pengekspor gas nomor 1 di dunia. Minyak masih 4,3 milyar barel.
Dalam hal ini, fraser institute tahun 2008 juga menempatkan Indonesia dalam peringkat ke 7 dunia dalam potensi mineral.
Itu dari sector mineral, batubara, dan migas. Dalam sector pertanian dan perkebunan Indonesia juga bukan kelas kacangan. Kita menjadi produsen kakao rangking 3 dunia dengan produksi 430ribu ton/th, produsen kopi ke 4 dunia dengan produksi 443ribu ton/th, juga produsen the ke 5 dengan produksi 165ribu ton/th.
Dalam sector perikanan, Indonesia merupakan Negara dengan garis pantai terpanjang dunia, yaitu 81ribu km. ini sama dengan 14% garis pantai dunia. Luas lautan kita seluas 5,8juta km2. Sekitar 7% (6,4 juta ton/tahun) dari potensi lestari total ikan laut dunia berasal dari Indonesia.

Ironi

Namun demikian kekayaan tersebut rupanya tidak membawa berkah bagi negri ini. Sebab antara harapan dan kenyataan sangat jauh berbeda. Mestinya dengan kekayaan yang melimpah tersebut, kita menjadi makmur sejahtera. Tapi faktanya, kemiskinan, pendidikan mahal, rumah sakit tak terjangkau masih mendera negri ini.
Kemiskinan di indonesia menurut versi bps berjumlah 33,9 juta orang, semntara versi bank dunia 110 juta orang. Masih menurut bank dunia (2012) GDP perkapita indonesia hanya 2500 US$, sementara malaysia 7900 US$, singapura yang tidak punya apa-apa 40.920 US$, jepang yang porak poranda setelah di bom amerika, kini punya GDP 42.150 US$.
Sumber daya manusianya rendah, indeks sumber daya manusia peringkat 112 dari 115 negara, lulusan PT 6%, SLTP/A 34% sisanya 60% dari jumlah penduduk Indonesia lulusan SD. Sementara rakyatnya miskin, hutang negara luar biasa besarnya. Hingga akhir tahun 2011, hutang Indonesia tidak kurang dari Rp 1.850 trilyun rupiah. Beberapa bahan pokok yang seharusnya ada di Indonesia justru impor, kedelai, gandum, telur dan  ayam ras.

Kesalahan pengelolaan

Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga kini, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh negara untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak, gas bumi dsb.
 Tentu ini semua berawal dari aturan main atu undang-undang. Sejak diundangkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.. Swasta dan asing berbondong-bondong menguasai kekayaan alam kita. Faktanya, hinga tahun 2002 saja sudah lebih dari 90% investasi dilakukan oleh pemodal asing.  Hingga 2007 tidak kurang dari 235 pertambangan umum (KK) dan 141 tambang batubara (PKP2B), belum termasuk Kuasa Pertambangan (KP) untuk swasta lokal serta ribuan industri pertambangan mineral industri tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah direvisi dengan undang-undang baru no 4 tahun 2009, nafasnya ternyta juga tidak berubah, artinya individu maupun swasta termasuk asing tetap boleh mengelola tambang-tambang tersebut. Bahkan kini sudah mencapai 10.000 ijin yang dikeluarkan pemerintah (bisnis.com, 16/06/2012).
Demikian pula dalam industry migas, sejak diundangkannya uu no 22 tahun 2001 70% migas kita juga langsung dikuasai asing. Demikian pula dalam bidang kehutanan dan lainnya.
Jadi kata kunci dari pengelolaan ini adalah swastanisasi/privatisasi. Dan swastanisasi/privatisasi merupakan bagian terpenting dari kapitalisme.

Solusi Islam

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam ini. 
Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy Sayukani, Nayl al Authar, halaman 1140)
Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Untuk pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal yang menceritakan, saat itu Abyad meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat.
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.
Sikap pertama Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—lalu Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, beliau menarik kembali pemberian itu. Syekh Taqyuddin An-Nabhani  mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Karena itu, penarikan kembali pemberian Rasul SAW dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam).
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batubara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau migas pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

* Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta

19 Januari 2012

Simulasi  Hitungan Subsidi BBM
Prof. Dr. Fahmi Amhar

Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor?  Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini?  Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.

Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.

Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi.  Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter.  1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel.  Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF).  Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel.  Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE).  Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik.  1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.

Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt.  Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.

Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari.  Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi.  Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi.  Jadi angka lifting adalah angka rata-rata.  Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar.  Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada.  Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim.  Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung.  Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.

Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN.  Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu.  Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN.  Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah.  Untuk mengangkatnya perlu biaya juga.  Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.

Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:
Lifting                : 970.000 barrel/hari
Harga minyak     :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-

Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:
Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun.  Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.

Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).
Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun.  Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar.  Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.
Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.

Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter.  Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter.  Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.

Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijumpai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.

Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):
A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)

Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter).  Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM).  Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter.  Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter.  Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter.  Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.

Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).

Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.

Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.

Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T.  Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar.  Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu.  Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.

Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011.  Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T.  Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0.  Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.

Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T.  Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.

Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru.  Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu.  Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan.  Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap.  Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.
 
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.



flow migas nasional dari KemESDM 2007

sumber:http://www.facebook.com/notes/fahmi-amhar/simulasi-hitungan-subsidi-bbm/10150497160991921
Pembatasan BBM Bersubsidi: Demi Kepentingan Asing ! 
[Al Islam 590] Pemerintah akan memberlakukan pembatasan BBM subsidi mulai 1 April 2012. Sebab DPR dan pemerintah telah menyepakati UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang mengamanatkan pembatasan konsumsi BBM (lihat, Antara, 12/01). Banyak pihak menolak pembatasan BBM bersubsidi itu karena sama saja dengan menaikan BBM 100 %. Sebab mereka yang selama ini mengkonsumsi premium dipaksa membeli pertamax yang harganya 2 kali lipat. Kalangan pengusaha khususnya UMKM akan banyak jadi korban kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi ini. Pembatasan itu akan makin memukul daya saing produk UMKM. Bukan hanya biaya produksi yang bertambah karena biaya transportasi, tapi bahan baku juga pasti akan ikut naik. Kondisi ini memaksa pelaku UMKM menaikkan harga jualnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat dipastikan akan merosot. Maka bisa dipastikan banyak UMKM yang akan gulung tikar. Jika demikian halnya, lalu untuk kepentingan siapa pembatasan BBM bersubsidi itu dilakukan? Subsidi: Pemborosan APBN? Diantara alasannya yang selalu saja muncul adalah subsidi membebani dan menjadi pemborosan APBN. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi selama 2011 membengkak sehingga anggaran subsidi BBM juga membengkak dari Rp. 129,7 triliun menjadi Rp. 160 triliun. Kalau mau jujur, yang membebani APBN adalah Pembayaran Utang dan bunganya serta penggunaan APBN yang boros. Contoh, Anggaran Pembayaran Utang tahun 2012 sebesar 170 trilyun (Bunga Rp 123 T dan Cicilan Pokok Utang LN Rp 43 T). Ironisnya, tahun 2012 pemerintah terus menambah utang dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp. 134 T dan utang luar negeri sebesar Rp 54 T. Padahal, ada sisa sisa APBN 2010 Rp 57,42 triliun ditambah sisa APBN 2011 Rp 39,2 triliun. Untuk apa utang ditambah, tapi ada sisa dan tidak digunakan? Padahal bunga SUN dan utang LN itu harus dibayar tiap tahun hingga puluhan triliun. Yang menikmati itu adalah para kapitalis dan orang-orang kaya. Penggunaan APBN juga dinilai sangat boros. Indikasinya: pertama, banyak pengeluaran yang tidak efektif. Anggaran untuk kunjungan dan studi banding mencapai Rp 21 T. Padahal selama ini dinilai lebih banyak bernuansa plesiran. Kedua, anggaran untuk gaji pegawai tahun 2012 mencapai Rp 215.7 triliun naik Rp 32.9 triliun (18%) dibandingkan tahun 2011. Padahal rata-rata gaji PNS sudah jauh lebih baik dari UMR. Tapi pemerintah tetap menaikkan gaji PNS 10 % sementara kenaikan gaji itu tidak diikuti dengan peningkatan kinerja PNS dan sampai sekarang kualitas pelayanan publik masih saja buruk. Ketiga, pemerintah justru menambah jumlah pejabat tinggi yaitu menambah banyak jabatan wakil menteri. Pasti mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang dibiayai dari APBN seperti rumah dan mobil dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, sopir dan beberapa staf pembantu dan sebagainya. Tentu itu makin menyedot uang APBN. Keempat, realisasi APBN 2011 untuk belanja modal hingga awal September 2011 hanya 26,9 % dari APBN-P 2011. Begitu dekat akhir tahun tiba-tiba realisasinya mendekati 90 persen. Aneh dan luar biasa, realisasi belanja modal dalam waktu kurang dari tiga bulan bisa meningkat 60%. Itu mengindikasikan pemborosan dan menghambur-hamburkan anggaran, yang penting habis, sementara efektifitasnya nomor enam belas, dan yang jelas rawan penyalahgunaan. Dalam catatan KPK, pada 2008 kebocoran APBN mencapai 30-40 persen. Kenapa pos-pos belanja seperti itu tidak dianggap membebani dan sebagai pemborosan APBN sementara subsidi untuk rakyat dianggap beban dan pemborosan? Penghematan dan efisiensi lebih pas dilakukan pada pos-pos seperti itu, disamping juga harus ditingkatkan efektifitasnya. Penerimaan APBN sebagian besar dari pajak baik PPH, PPN, PBB dan lain-lain yang dipungut hingga dari rakyat miskin sekalipun. Sementara para pengusaha atau investor asing sering diberi fasilitas keringanan pajak seperti tax holiday, penurunan bahkan penghapusan PPN dan PPnBM, pajak ditanggung pemerintah atau fasilitas lainnya, yang cenderung terus meningkat. Tentu itu mengurangi pemasukan atau membebani APBN. Kenapa fasilitas untuk pengusaha dan investor asing itu cenderung ditingkatkan, sementara fasilitas subsidi yang langsung bersentuhan dengan rakyat seperti subsidi BBM justru dihilangkan? Subsidi tidak tepat Sasaran? Bohong! Alasan lain yang selalu muncul bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran sebab premium lebih banyak diminum mobil pribadi milik orang kaya. Itu hanya klaim, tidak tepat dan bertentangan dengan data. Data Susenas 2010 oleh BPS menyebutkan, 65 % BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 4 dan kalangan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 2. Sementara itu, 27 % digunakan kalangan menengah, 6 % kalangan menengah atas dan 2 % kalangan kaya. Data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebutkan, kuota BBM bersubsidi tahun 2010 sekitar 36,51 juta kiloliter (KL), dengan rincian premium 21,46 juta KL, solar 11,25 juta KL dan minyak tanah 3,8 juta KL. Sementara Konsumsi Premium, 40 % untuk sepeda motor, 53 % untuk mobil pribadi plat hitam dan 7 % untuk angkutan umum. Seandainya 50 % dari mobil pribadi digunakan untuk kegiatan usaha UMKM maka sebesar 74 % premium bersubsidi dinikmati oleh rakyat menengah bawah. Akar Masalahnya: Liberalisasi Migas Pemerintah telah berkomitmen menghilangkan secara bertahab subsidi BBM. Penghilangan subsidi BBM itu adalah salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat dan pertemuan G-20 di Prancis tahun lalu. Inilah alasan sebenarnya kenapa pemerintah terkesan ngotot memaksakan pembatasan BBM bersubsidi April mendatang. Lebih dari itu, pembatasan BBM bersubsidi merupakan satu bagian integral dari paket kebijakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU No. 22/2001 dan didektekan oleh IMF melalui LoI. Teks UU tersebut menyatakan pentingnya manajemen urusan minyak dan gas sesuai dengan mekanisme pasar (pasal 3). Kebijakan liberalisasi migas itu untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada swasta seperti yang tercantum pada pasal 9 : Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta. Pembatasan BBM bersubsidi itu untuk meliberalisasi migas di sektor hilir guna memberi jalan bagi swasta asing untuk masuk dalam bisnis eceran migas. Ini adalah rencana lama yang terus tertunda. Menteri ESDM waktu itu, Purnomo Yusgiantoro, menegaskan dalam pernyataan persnya (14/5/2003): “Liberalisasi di sektor minyak dan gas akan membuka ruang bagi para pemain asing untuk ikut andil dalam bisnis eceran bahan bakar minyak”. Selama harga BBM masih disubsidi maka sulit menarik masyarakat untuk membeli BBM jualan SPBU asing itu. Dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi masyarakat dipaksa menggunakan pertamax, maka SPBU-SPBU asing tanpa capek-capek bisa langsung kebanjiran konsumen. Dengan begitu maka puluhan perusahaan yang telah mendapat izin bisa segera ramai-ramai membuka SPBU-SPBU mereka. Semua itu pintunya adalah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi! Dengan demikian yang paling besar diuntungkan dari kebijakan itu adalah swasta dan asing pengecer migas. Sebaliknya yang dirugikan jelas adalah rakyat!! Solusi Islam Semua jenis sumber energi baik migas, listrik atau lainnya, secara syar’i negara tidak berhak untuk menguasakannya kepada individu, institusi, atau perusahaan tertentu, meskipun berasal dari warga negeri ini sendiri. Lalu bagaimana jika mereka itu berasal dari pihak asing kafir imperialis?! Sumber energi tersebut adalah milik umum untuk umat. Rasul saw bersabda: «الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ» Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad) Kata an-nâr (api) mencakup semua jenis energi yang disebutkan di atas. Negara secara syar’i dituntut untuk mengeksplorasi energi itu dan mendistribusikannya kepada rakyat. Jika negara menjualnya, negara harus mendistribusikan keuntungan hasil penjualannya kepada rakyat. Negara tidak boleh memungut dari rakyat kecuali pungutan yang tidak melebihi biaya riil untuk mengatur pengelolaan BBM. Wahai Kaum Muslim Kebijakan liberalisasi migas termasuk pembatasan BBM bersubsidi jelas bertentangan dengan ketentuan syariah itu, karenanya haram dilakukan. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang zalim dan merugikan rakyat untuk menyenangkan perusahaan-perusahaan imperialisme asing dan pihak-pihak rakus yang menjarah kekayaan umat. Apalagi, tindakan itu telah membuat negeri ini berada di bawah pengaruh penjajah. Dan hal itu secara syar’i adalah haram. Allah SWT berfirman: وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141) Karena itu kebijakan liberalisasi migas dan pembatasan BBM bersubsidi itu harus ditolak dan dihentikan. Berikutnya migas dan SDA lainnya harus segera dikelola dengan benar sesuai tuntutan yang dibawa oleh Rasul saw. Hanya dengan itulah, migas dan SDA lainnya akan bisa dikelola demi kesejahteraan dan kebaikan umat. Keinginan kita agar migas dan SDA yang ada benar-benar menjadi berkah bagi negeri ini hendaknya mendorong kita melipatgandakan usaha dan kesungguhan untuk mewujudkan penerapan Syariah Islam secara total dan utuh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2012/01/18/pembatasan-bbm-bersubsidi-demi-kepentingan-asing/