21 Agustus 2008

PROFESIONALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM (TAMBANG) DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati (barang tambang). Kekayaan ini tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Di Aceh bisa dijumpai gas alamnya, Sumatera bagian tengah hingga selatan kaya akan batubara, ke timur sedikit terdapat Pulau Bangka-Belitung dengan timahnya, menyeberang ke Kalimantan dengan limpahan Batubara, menyeberang ke Sulawesi dengan Nickelnya, lebih ke timur lagi bisa dijumpai Papua dengan kekayaan emas, perak dan tambaganya dan masih banyak lagi. Oleh karenanya sangat wajar jika Fraser Institute menempatkan Indonesia pada urutan ke 7 teratas dalam hal potensi mineral1.
Jika ditilik dari sisi penghasilan, industri pertambangan termasuk yang lumayan tinggi yaitu mencapai Rp 26 trilyun (dalam bentuk pajak), jika digabung dengan pengeluaran untuk upah pekerja dan lainnya bahkan hingga mencapai Rp 51 trilyun. Inipun belum termasuk multiplier effects dari sisi ekonomi yang ditimbulkan dari adanya aktivitas pertambangan yang ada. Di beberapa daerah bahkan menjadi penyumbang terbesar PDRB Regional, seperti di Papua, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur2.
Namun, ironisnya kini Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sumber daya manusianya rendah, indeks sumber daya manusia peringkat 112 dari 115 negara, lulusan PT 6%, SLTP/A 34% sisanya 60% dari jumlah penduduk Indonesia lulusan SD. Sementara rakyatnya miskin, hutang negara luar biasa besarnya. Hingga akhir tahun 2006, hutang Indonesia tidak kurang dari Rp 1.760 trilyun rupiah, terdiri dari Rp 1250 trilyun hutang luar negeri dan 510 trilyun hutang swasta3. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini nampak pada realisasi pos penerimaan dalam APBN tahun 2006 yaitu Rp 637,85 triliun, sementara dari sektor pajak sebesar Rp 358 trilyun atau mencapai sekitar 56%4. Ini berarti, rakyat jugalah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, maka kegagalan Indonesia sebagai negara sudah di ambang pintu.
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Oleh karenanya sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin bagaikan ‘ayam mati di atas pendaringan beras’. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Di mana letak kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?

Pengelolaan SDA (Tambang) di Indonesia
Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga kini, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh negara untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak, gas bumi dsb.
Kebolehan ini didasarkan atas diundangkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sehingga pasca kelahiran undang-undang tersebut, Indonesia dibanjiri investor asing. Di bidang pertambangan sendiri lebih dari 90% investasi dilakukan oleh pemodal asing5 (belum termasuk sumber daya migas, hutan dan lainya), baik dalam bentuk Kontrak Karya (KK) maupun Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Mulai dari pasca diundangkannya kedua UU di atas hingga saat ini tidak kurang dari 235 pertambangan umum (KK) dan 141 tambang batubara (PKP2B)6, belum termasuk Kuasa Pertambangan (KP) untuk swasta lokal serta ribuan industri pertambangan mineral industri tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Industri ini secara aktif menghasilkan berbagai bahan tambang untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun pasar internasional. Jadi kata kunci dari pengelolaan ini adalah swastanisasi/privatisasi.

Kesalahan Paradigma
Pemberian hak pengelolaan sumber daya alam (barang tambang) di negeri ini oleh Pemerintah kepada swasta (asing/lokal) atau perorangan, termasuk bagian dari swastanisasi/privatisasi, berupa pengalihan dari kekayaan publik/masyarakat menjadi kekayaan swasta, yaitu para pengusaha pememegang saham. Padahal faktanya, sumber daya tersebut sejatinya merupakan potensi kekayaan bagi seluruh masyarakat. Paling tidak, satu hal yang dapat menjadi bukti real dari dampak buruk swastanisasi/privatisasi tersebut. Yaitu, perusahaan swasta pemodal (kapitalis), dimanapun dan kapanpun, biasanya hanya beorientasi pada perolehan keuntungan semata. Dalam kasus kekayaan alam (tambang) yang dikelola oleh swasta/perorangan, uang miliaran rupiah hanya akan mengalir kepada perusahaan tersebut, sementara masyarakat secara lebih luas tidak bisa menikmatinya.
Memang benar, keberadaan perusahaan tambang dapat membuka lapangan kerja, khususnya bagi masyarakat sekitar penambangan. Namun, pada dasarnya mereka sebatas sebagai buruh. Privatisasi semacam ini hanya sukses mengantarkan segelintir pengusaha (swasta/asing) pada tingkat ekstra sejahtera dan sebaliknya mengantarkan jutaan rakyat lainnya pada jurang kesengsaraan. Hal ini bertentangan dengan fungsi Pemerintah yang seharusnya berusaha mengelola potensi kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Jelaslah, pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola emas atau barang tambang lainnya seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti tidak tepat. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau perusahaan-perusahaan tersebut dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan barang tambang serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini dilakukan jelas harus ditinjau ulang.

Profesionalitas Pengelolaan SDA dalam Islam
Dalam pandangan Islam, barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani (1996)7 berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meloloskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak sebagaimana air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani (1996)7 mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang (hutan dll), api (energi/barang tambang dll) dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat (alasan) dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits Abyadh ini. Hadits di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik yang nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras dan pengolahan lebih lanjut seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk milik umum. Baik berbentuk padat ataupun berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73)8 mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Pemasukan Negara
Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap hutang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1996)7, negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syari’at melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syari’at Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal, adalah:

1. Sektor kepemilikan individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3) Amil zakat (pengurus zakat), 4). Muallaf (orang yang baru masuk Islam), 5) Memerdekakan budak, 6) Gharimin (orang yang terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah (orang yang sedang berperang di jalan Allah), 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan ummat.

2. Sektor kepemilikan umum
Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum baik berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumber daya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.

3. Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.

Penutup
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya tambang negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya ini. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan tambang saja yang mengelola tambang-tambang yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumber daya lain.
Penambangan sumber daya mineral oleh swasta (asing/lokal) atau perorangan merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 70an berarti sudah triliunan rupiah hasil tambang yang melayang ke luar negeri atau masuk ke kantong-kantong pengusaha swasta lokal atau perorangan. Memang pemerintah mendapatkan pajak, royalty dan sebagainya. Tetapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai pengelolaan tersebut sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini bukan berarti Islam melarang menswastakan. Memang di dalam Islam dibolehkan penambangan dikerjakan oleh swasta, akan tetapi mereka akan dibayar sesuai dengan jasa yang telah dikeluarkan, bukan seperti kondisi saat ini, dimana mereka semua yang mengelola, sementara pemerintah tinggal menunggu setoran pajak, royalty dan lainnya.
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya alam (tambang) itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN negeri ini, selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berhutang ke sana kemari.
Hendaknya Pemerintah melakukan perombakan secara fundamental terhadap sektor ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Semua bentuk privatisasi/swastanisasi pengelolaan sumber daya tambang maupun lainnya milik masyarakat harus dihapuskan. Sebab, melalui privatisasi/swastanisasi, kekayaan milik umum/rakyat berpindah menjadi milik individu/swasta. Pada saat yang sama, lewat privatisasi/swastanisai, Pemerintah justru melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, khususnya menyangkut sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam perspektif Islam telah dijelaskan bahwa seluruh kekayaan yang oleh Allah dan Rasul-Nya dinyatakan untuk masyarakat banyak terkategori sebagai barang milik umum. Islam melarang individu/sekelompok orang/swasta untuk menguasai ketiga jenis kekayaan milik masyarakat tersebut.
Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abbas:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, padang rumput/hutan, dan api/energ/barang tambangi. (HR Ahmad).

Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, yang hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Lagipula, semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik bagi masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan solusi fundamental tersebut adalah syari’at Islam yang diterapkan bukan saja pada sektor pertambangan tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya melalui perubahan yang fundamental inilah kesejahteraan dan kemakmuran akan dapat diraih sebagaimana yang menjadi cita-cita seluruh rakyat ini. Allah SWT berfirman:
Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya, dibandingkan dengan hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? (QS Al-Maidah [5]: 50).Wallahu a’lam

Pustaka
1. Fraser Institute, 2006, Annual Survey of Mining Companies 2005/2006
2. Price Waterhouse Coopers, 2007, mineIndonesia 2006*
3. Suara Pembaruan, 26 April 2007
4. www.kau.co.id, akses 12 Juli 2007
5. Bakky, A.L., 2003, PERHAPI, Makalah Seminar Sumber Daya Mineral dan Kelautan, Makasar
6. Price Waterhouse Coopers, 2003, Indonesian Mining Survey 2002
7. An-Nabhani, Tqiyyudin, 1996, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam, Alih Bahasa Muh. Maghfur, Risalah Gusti, Surabaya Cet. II
8. Al-‘Assal, Ahmad Muhammad & Karim, Fathi Ahmad, 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Alih Bahasa Imam Saefudin, Pustaka Setia, Bandung, Cet I


Agung Dwi Sutrisno
Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
Jl. Babarsari Caturtunggal, Depok, Sleman Yogyakarta 55281
Email: agung_ds@yahoo.com, agungdwisutrisno@gmail.com

1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu