21 Maret 2014

Menguak Kembali Peran Asing di Balik SJSN dan JKN


Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dijalankan sebagai amanat dari UU SJSN no. 40 tahun 2004 dan UU BPJS no. 24 tahun 2011.  Lahirnya UU SJSN no 40 tahun 2004 dan UU BPJS no 24 tahun 2011 dipropagandakan sebagai berkah bagi rakyat.  Namun benarkah semua itu termasuk JKN akan menjadi berkah dan dijalankan demi kepentingan rakyat?  Benarkah rakyat akan merasakan manfaat terbesar dari asuransi sosial termasuk JKN itu? Jawabannya bisa ditelusur sejak proses lahirnya UU SJSN dan UU BPJS, siapa yang berperan, siapa yang menentukan?  Sebab pihak yang berperan besar dan menentukan biasanya adalah yang paling berkepentingan atau menjadi alat dari pihak yang paling berkepentingan.
Dari penelurusan dokumen-dokumen terkait lahirnya SJSN dan BPJS, nyatanya pihak asinglah yang banyak berperan bahkan menentukan. Hal itu berawal pasca krisis tahun 1997.  Salah satu point LoI yang didektekan oleh IMF adalah liberalisasi sektor keuangan.  Untuk itu dibuat banyak proyek utang baik dari IMF, Bank Dunia dan ADB.
Kisah SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Lalu pada tahun 1998 dibuat proyek utang Loan 1618-INO senilai US$ 1,4 miliar dari ADB yaitu Financial Governance Reforms: Sector Development Program FGRSDP- (dokumen ADB PCR: INO 31660). FGRSDP merupakan bagian integral dari paket penyelamatan IMF pada akhir 1997.  FGRSDP fokus membantu restrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial dan sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan dan penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan. Output FGRSDP bisa dikelompokkan menjadi 4 area: 1. Restrukturisai perbankan, 2. Pengadopsian tata kelola keuangan yang baik, 3. Peningkatan transparansi informasi keuangan dan 4. Penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan. Area ke-4 ini diantaranya dalam bentuk dibuatnya UU Bank Sentral tahun 1999 yang menjadikan BI sebagai institusi negara yang independen.  UU Bank Sentral itu mengamanatkan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada tahun 2000 Pemerintah meminta bantuan ADB untuk membuatkan konsep dan blueprint institusi pengawasan jasa keuangan yang terintegrasi.  Lalu tahun berikutnya dibuat workshop tentang pendirian institusi tersebut yang kemudian disebut OJK.  Berikutnya draft tentang OJK dimasukkan oleh Pemerintah tahun 2003.
Lalu apa hubungannya dengan SJSN dan BPJS?  BPJS adalah lembaga keuangan non bank, jadi akan ada dalam cakupan kerja dan wewenang OJK. Bersamaan persetujuan FGRSDP, pada Desember 1998 juga dibuat proyek utang sebesar US$ 870 ribu (dokumen ADB TAR: INO 32352) Technical Assistance (TA) to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension and Provident Funds.  TA menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam pengelolaan dana pensiun atau jaminan hari tua.  TA ini berhasil menanamkan keharusan liberalisasi pengelolaan dana pensiun.  TA ini membuka pintu untuk SJSN dan BPJS.
Sebagai kelanjutan FGRSDP, Pemerintah melalui surat Menkeu RI Nomor S-370/MK.06/2002 tanggal 14 Nopember 2002 yang ditandatangani oleh Menkeu Boediono, mengajukan proyek utang untuk Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) Program atau Program Reformasi Tata Kelola Keuangan dan Jaminan Sosial kepada ADB.  ADB menyetujuinya pada tanggal 10 Desember 2002 dengan memberikan utang Loan no. 1965 proyek no. 33399  Program FGSSR yang pada Fase I nilainya US$ 250 juta berasal dari ordinary capital resource ADB.  Rincian program FGSSR dapat dilihat dalam dokumen ADB RRP: INO 33399 tentang Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on A Proposed Cluster, First Loan And Technical Assistance Grant to the Republic of Indonesia for the Financial Governance And Social Security Reform Program –Laporan dan Rekomendasi Presiden (ADB) kepada Dewan Direktor tentang Proposal Cluster, Utang Pertama dan Pinjaman Bantuan Teknis untuk Republik Indonesia untuk Program Reformasi Tata Kelola Keuangan dan Jaminan Sosial-.
Dalam dokumen ADB, RRP: INO 33399 tentang program FGSSR dinyatakan bahwa program FGSSR ini dibagi dalam dua fase. Fase I akan mensuport kerangka kerja yang luas untuk penguatan total sektor finansial dan mempromosikan pengembangan institusi keuangan yang sehat untuk mensuport tata kelola yang baik dan pertumbuhan ekonomi.  Juga bertujuan memperbaiki jaminan sosial melalui perbaikan tata kelola, pengawasan dan regulasi dana pensiun dan program asuransi sosial yang wajib.  Sementara Fase II memiliki tujuan pembentukan OJK dan penggabungan sistem jaminan sosial.
Kedua hal itu ditempuh dengan dua strategi: pertama, penguatan sistem keuangan.  Untuk itu Fase I ini akan mensuport pembentukan OJK.  Dalam masa transisi Pra-OJK, Fase I akan mensuport persiapan komprehensif reformasi legal yang diperlukan untuk transfer fungsi regulator dan pengawasan ke OJK, mensuport pengembangan sistem anti pencucian uang yang efektif, memperkuat regulasi sektor keuangan dan pengawasan di bawah otoritas yang saat ini ada, meningkatkan tata kelola dan korporat, dan mendorong pengadopsian praktik dan standar terbaik untuk regulasi dan pengawasan.
Strategi kedua, memperkuat sistem jaminan sosial nasional.  Implementasinya adalah dengan mensuport pembuatan UU SJSN, memperbaiki pengawasan dan tata kelola asuransi sosial yang wajib dan program jaminan sosial yang ada di bawah yurisdiksi OJK, mensuport ukuran-ukuran untuk memperbaiki kelangsungan fiskal dari program wajib, memperbaiki program untuk memberikan income hari tua, mensuport pengembangan sistem identifikasi tunggal untuk sistem jaminan guna meningkatkan administrasi pelayanan, mencari opsi-opsi potensial untuk memperluas cakupan sistem jaminan sosial ke sektor informal, dan melakukan audit khusus kepada skema jaminan sosial wajib untuk sektor informal dan melakukan reviw finansial independen terhadap perusahaan asuransi untuk mensuport reformasi dan restrukturisasi.
Untuk Fase I ADB menggelontorkan utang sebesar US$ 250 juta dan US$ satu juta untuk Technical Assistance.  Sedangkan untuk Fase II ADB memberikan utang sebesar US$ 150 juta.
Pada no 47 dokumen ADB RRP: INO 33399 disebutkan, utang Fase I US$ 250 juta itu akan digunakan untuk (1) biaya pembentukan OJK, termasuk peningkatan kapasitas dan implementasi sebesar US$ 22 juta; (2) sebesar US$ 25 juta untuk biaya pembentukan PPATK, peningkatan kapasitas PPATK dan agen pemerintah lainnya serta dukungan biaya kepatuhan perundangan yang terkait dengan anti pencucian uang, dan (3) sebesar US$ 200 juta untuk biaya restrukturisasi sektor asuransi.
Pada point 52 dokumen ADB, RRP: INO 33399 dijelaskan, utang dari FGSSR Fase I sebesar US$ 250 juta akan diberikan dalam tiga bagian.  Bagian I US$ 100 juta diberikan saat kesepakatan kontrak.  Insentif tambahan US$ 50 juta dan insentif kedua US$ 100 juta akan diberikan apabila pemenuhan komitmen kontrak dirasakan menggembirakan.  Rincian syarat dan tolok ukur untuk pencairannya dirinci pada point 53 diantaranya bahwa Pemerintah akan menyelesaikan persiapan teknis konsep UU dan amandemen terhadap UU OJK, UU Pasar Modal, UU Pensiun, UU Asuransi, UU Perseroan, UU Akuntansi Publik, UU Anti Pencucian Uang dan berbagai kebijakan lainnya termasuk terkait PPATK.  Semua itu artinya bahwa utang akan dicairkan jika semua syarat yang ditetapkan dipenuhi oleh pemerintah dan UU serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah menggembirakan ADB.
Dokumen  tersebut pada no.30 menyebutkan: “Untuk mengalihkan system jaminan sosial , Phase I akan (i) Mengalihkan institusi yang terkait dengan pelaksanaan asuransi sosial wajib dan program jaminan sosial dibawah pengawasan OJK, (ii) Meningkatkan tata kelola dan pengawasan sistem asuransi sosial yang wajib dan sistem jaminan sosial yang ada, (vii) Membangun UU baru dan badan baru untuk penyelenggaraan jaminan sosial.”  Lalu pada no. 41 disebutkan: “akan dibentuk UU baru mengenai SJSN untuk menyatukan program jaminan sosial dan meningkatkan kerangka jaminan sosial, manajemen dan administrasi.” Hasilnya adalah lahirlah UU SJSN no 40 tahun 2004 dan UU BPJS no 24 tahun 2011.
Agar semua bisa lebih terjamin, disitulah pentingnya adanya asistensi teknis (Technical Assistance – TA).  Karena itu, utang program FGSSR ini disertai dengan pinjaman dalam bentuk hibah (grant) dalam proyek 35316-012 FGSSR sebesar US$ 1 juta untuk Technical Assistance of FGSSR.  Dokumen program TA tersebut menyatakan bahwa TA akan mensuport (1) restrukturisasi sektor asuransi, dan (2) pengembangan sistem jaminan sosial nasional.  Dua hal itu dilakukan melalui dua komponen TA. Komponen pertama TA akan memberikan penilaian atas kondisi finansial dan kekurangan kapital dari sektor asuransi dan identifikasi entitas yang tak sehat secara finansial dan menentukan opsi untuk restrukturisasi dan konsolidasi dalam sektor tersebut selama diperlukan suport pada level dan tipe pemerintah tertentu untuk mengimplementasikan opsi yang direkomendasikan.  Komponen kedua TA akan memberikan asistensi untuk pengemanan jaminan sosial nasional yang sejalan dengan kebijakan-kebijakan kunci dan prioritas yang ditetapkan oleh Pemerintah.  Dalam kontek itu TA akan (1) melakukan studi kelayakan untuk reformasi sistem jaminan sosial yang bersama lainnya akan memberikan (a) opsi restrukturisasi skema asuransi sosial wajib untuk meningkatkan tata kelola dan program, (b) rekomendasi tingkat iuran dan faktor lainnya untuk meningkatkan nilai manfaat pensiun dalam program mendatang, (c) proposal untuk cakupan ekspansi yang realistis dari sistem jaminan sosial ke sektor informal dalam jangka pendek dan menengah dan potensi tahapan reformasi dalam batasan yang ada, (2) melakukan serangkaian konsultasi dengan stakeholder yang ada melalui workshop publik, (3) membantu persiapan legislasi dan regulasi untuk undang-undang baru dan badan baru untuk jaminan sosial nasional, (4) mensuport pengembangan sistem identifikasi tunggal untuk jaminan sosial nasional untuk memperbaiki administrasi dan menejemen, (5) mensuport kampanye edukasi publik tentang jaminan sosial dan sosialisasi RUU jaminan sosial nasional melalui media, berbagai workshop dan seminar, (6) memberikan training pejabat kunci tentang konsep inti dari menejemen, administrasi dan tata kelola sistem jaminan sosial, dan (7) mensuport pengembangan profesi aktuaria.
Untuk itu TA ini akan melibatkan konsultan internasional 22 orang-bulan yang memiliki keahlian dalam sektor asuransi (4 orang-bulan), jaminan sosial (6 orang-bulan), reformasi legal (4 orang bulan), edukasi publik (5 orang bulan) dan desain/administrasi sistem identifikasi jaminan sosial (3 orang bulan); ditambah 31 orang konsultan lokal dengan keahlian jaminan sosial (12 orang bulan), edukasi publik (5 orang bulan), tata kelola finansial dan reformasi jaminan sosial (12 orang bulan), profesi aktuaria di Indonesia (2 orang bulan).
Dari semua itu sangat jelas bahwa lahirnya UU SJSN dan BPJS, bahkan lebih jauh lagi UU dan banyak kebijakan di sektor ekonomi dan keuangan, begitu kuat dipengaruhi, didrive dan diarahkan oleh asing dalam hal ini ADB.  Bisa dikatakan bidan dari kedua UU ini adalah asing (ADB).  Dokumen-dokumen ADB dengan gemblang menguak semua itu.
Bahkan tidak berhenti sampai disitu, setelah UU BPJS disahkan dan masuk dalam tahap implementasi, yaitu pembentukan BPJS dan transformasi BUMN Asuransi (Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri) menjadi dua BPJS yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan, ADB tidak mau hal itu lepas dari pengawasan dan arahannya.  Untuk itu ADB memberikan bantuan dalam bentuk proyek no. P45110-001  Capacity Development Technical Assistance (CDTA) Republic of Indonesia: Fiscal Aspect of Social Security Reform dengan bantuan sebesar US$ 800 ribu.  TA ini akan membantu pemerintah membentuk dua BPJS utama.  TA ini juga akan memberikan suport langsung kepada BPJS untuk memperkuat administrasi dari fungsi utamanya, termasuk: mengumpulkan iuran anggota, membayar benefit untuk kesehatan dan pensiun, rencana pengaturan aset dalam bentuk yang memadai dan efektif, menjaga catatan melalui sistem yang efisien, dan implementasi dan pengekalan dengan sistem tata kelola yang terpercaya.
Juga disebutkan dalam dokumen proyek tersebut, bahwa JICA menampakkan ketertarikan membantu pemerintah dalam reformasi jaminan sosial dan jaring pengaman sosial.  Bank Dunia telah memberikan asistensi kepada Kemenkeu terkait pensiun PNS dan program penghematan.  Kerjasama pembangunan Jerman melalui Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) telah mensuport BAPENAS dalam menset-up road map untuk pengimplementasian cakupan dasar universal untuk kesehatan.
Dari semua dokumen dan paparan di atas, jelas sekali bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) termasuk JKN di dalamnya, bisa dikatakan sebagai perintah pihak asing, melalui perintah IMF yang tertuang dalam LoI (Letter of Intent).  Dan untuk memastikan hal itu terealisasi, asing melalui Bank Dunia, IMF, ADB, GIZ dan lembaga-lembaga lainnya aktif mendorong, mendanai bahkan memberikan asistensi mengawalnya sejak perencanaan hingga implementasi tahap akhir. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS DPP HTI]

Kedubes AS: Pusat Kejahatan Amerika di Indonesia


Amerika sejak kemerdekaan berperan besar dalam perubahan di Indonesia.
Mediaumat-Tidak ada satu kedutaan besar negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas intelijen di negara yang ditempatinya. Urusan penilaian terhadap kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib duta besar dan diplomat yang bersamanya.
Bagi negara yang tidak memiliki ideologi, keberadaan kedubes paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja sama bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan hankam. Sifatnya pasif.
Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar dan diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Mereka bisa memiliki agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di mana mereka bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran termasuk memasok senjata dan sejenisnya.
Dalam hubungan diplomatik, telah menjadi konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan diplomatik, tidak hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang bersama dengan diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara yang dituju tidak boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa kasus di dunia menjadi alat kejahatan yang luar biasa.
Reformasi
Di Indonesia sendiri, peran Amerika sangat besar. Lahirnya era reformasi tak lepas dari keinginan AS setelah Soeharto tak mau lagi tunduk pada pemerintahan Washington. Berbagai jalan dilakukan untuk menjatuhkannya termasuk menggunakan LSM. Terungkap ada dana 26 juta dolar sejak 1995 kepada LSM tersebut dengan kedok mendukung HAM dan kebebasan berekspresi.
Beberapa jam sebelum Soeharto lengser, Menlu AS ketika itu Madeline Albright mengisyaratkan supaya Presiden Soeharto mundur agar krisis terpecahkan. Bersamaan dengan itu, pemerintah AS mengumumkan telah mengirimkan sebuah kapal induk Belleau Wood yang dilengkapi dengan helikopter dan pesawat-pesawat jet tempur serta dua kapal pendukung, lengkap dengan 2000 serdadu marinir ke Teluk Jakarta untuk melakukan “evakuasi militer” (Kompas, 21/5/1998).
Menurut informasi yang berkembang, ketika kerusuhan Mei 1998 meletus, ada pengacakan sinyal di Jakarta sehingga mengganggu komunikasi aparat keamanan. Dugaan kuat, pengacak sinyal itu ada di Kedubes AS di Jakarta.
Dalam temuan Wikileaks terungkap pula betapa besar peran para diplomat yang ada di Jakarta dalam menentukan kebijakan pemerintah Amerika terhadap Indonesia. Secara berkala, para diplomat di Jakarta mengirimkan pengamatannya ke Washington. Semua yang terjadi di Indonesia menjadi bahan laporan.
Sejak Indonesia Merdeka
Tidak hanya di era reformasi,  jejak kejahatan Amerika telah terlihat sejak awal kemerdekaan. Aksi nyata mereka terlihat ketika Belanda ingin masuk lagi ke Indonesia pascakemerdekaan.
Masuknya AS itu untuk mematahkan penyebaran komunis di dunia. Keluarlah Truman Doctrine pada 1947, untuk mengepung komunis dan kemudian disusul Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.
Dalam rangka menjatuhkan pemerintah Soekarno, Amerika membantu pemberontakan PRRI/ PERMESTA. AS menurunkan kekuatan besar. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.  Pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
AS memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat. Amerika juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Awalnya Amerika membantah terlibat, namun sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pilot pesawat itu  Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup. Ia terbang atas perintah CIA.
Puncaknya ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen dan  literatur membongkar keterlibatan CIA-yang merangkap sebagai diplomat-di  dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh bukannya 5.000 orang,  Kol Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era Hitler.
Buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.
Tim Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto.
“Malik memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu. [] Humaidi
Doktrin Arthur-Churchill
Pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).
Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapura.
Doktrin itu menjadi acuan acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang direncanakan doktrin itu. (mediaumat.com)

Bank Dunia: Presiden Baru Harus Naikkan Harga BBM Subsidi Jadi Rp 8.500


Terus menerus, Bank Dunia menekan pemerintah Indonesia agar bisa mengurangi subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Bank Dunia meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp 8.500/liter.
Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta yaitu Jim Brumby mengatakan, presiden baru Indonesia nanti akan menghadapi masalah tingginya subsidi BBM dan listrik, yang menekan keuangan negara.
Jim memberikan saran, agar pemerintahan selanjutnya untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM. “Menaikkan ada dua, bisa Rp 8.500 per liter, atau menaikkan harga sebesar 50%,” katanya di Hotel Intercontinental, Midplaza, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Di tempat yang sama, Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan menambahkan, pelaku pasar memang bereaksi positif dengan pencapresan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) oleh PDIP akhir pekan lalu. Ini terlihat dari penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Namun, sebelum menyimpulkan penguatan rupiah karena euforia tersebut, dua bulan sebelumnya angka-angka ekonomi Indonesia sudah menunjukkan perbaikkan, mulai dari current account deficit yang membaik, inflasi tidak seperti yang dikhawatirkan, dan angka ekonomi lainnya, membuat rupiah terus menguat,” kata Anton.
Anton mengatakan, bahkan penguatan rupiah akan terus terjadi sepanjang tahun ini, dan indikator yang membalikkan rupiah ke angka Rp 12.000 per dolar AS masih belum terlalu kuat.
“Kami perkirakan hingga akhir tahun rupiah berada di angka Rp 11.060 per dolar,” ucapnya.
“Namun siapapun presidennya nanti, akan menghadapi persoalan besarnya subsidi BBM, suka tidak suka tiap tahun akan dipusingkan sama BBM. Presiden yang baru harus mempunyai program berpindah dari BBM ke gas, dan mungkin harus menaikkan harga BBM subsidi,” tutupnya. (detik finance, 18/3/2014)

UU Pertambangan, bagian dari penjajahan Amerika

Awalnya Amerika Menjajah Indonesia

Menurut Pengamat Ekonomi Politik dari UGM Revrisond Baswir awal masuk Amerika ke Indonesia untuk menjajah secara ekonomi dan politik  pada Konferensi Meja Bundar.
“Pada konferensi itu, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tetapi pengakuan itu disertai dengan tiga syarat ekonomi,” ungkapnya seperti dilansir Tabloid Media Umat: Demokrasi, Ekspor AS Paling Mematikan, Jum’at (21 Maret-3 April).
Pertama, Indonesia harus tetap mempertahankan keberadaan perusahaan asing di Indonesia. “Nah, sebagian perusahaan itu berasal dari Amerika, di antaranya adalah perusahaan minyak,” ujar Revrisond.
Kedua, Indonesia harus mengakui IMF. “Kita tahu persis bahwa Amerika pemegang saham terbesar di IMF,” tegasnya.
Ketiga, Indonesia harus bersedia menerima warisan utang dari Hindia Belanda. “Dan kita tahu juga waktu itu pihak Belanda berutang ke Amerika Serikat,” bebernya.
Menurutnya, kesepakatan dari konferensi yang berlangsung pada 1949 tersebut menjadi awal terjadinya transisi penguasaan Indonesia dari pihak Belanda ke pihak Amerika.
Semakin ganti rezim, semakin kuat cengkeraman Amerika di Indonesia karena terutama sekali adalah peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto. Karena di situ peralihan tidak terjadi secara normal. Tetapi didahului oleh kerusuhan politik sehingga timbul ‘kudeta’ yang sifatnya tidak hanya domestik.
“Karena bila dicermati, kita akan menemukan rekayasa yang sifatnya multinasional, yang dimotori oleh korporasi-korporasi asing untuk menyingkirkan Soekarno dan mendudukkan Soeharto,” katanya.
Lalu pemerintahan baru itu adalah pemerintahan boneka yang melakukan proses legalisasi berbagai hal. Maka terbitlah sejumlah UU, termasuk terbitnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Kemudian disusul terbitnya UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perdagangan, dll.
“Melalui semua UU tersebut, terjadilah proses pendalaman cengkraman pihak asing di Indonesia. Itu berlanjut terus sampai sekarang,” simpulnya.
Menurut Revrisond, dalam peralihan Soekarno ke Soeharto juga Indonesia mendapatkan kucuran pinjaman utang besar-besaran, sehingga Indonesia terbenam dalam himpitan utang. Dalam situasi tertentu, negara menjadi sulit membayar.
“Pada awal era Soeharto tidak terasa, karena kita belum mulai membayar utang. Tetapi pada 1984, mulai terasa. Nah, tumpukan utang itu, dipakai alat oleh Amerika Serikat memaksakan perubahan UU,” ujarnya.
Contoh, pada 1998, Indonesia kesulitan bayar utang, maka pinjam utang lebih besar lagi kepada IMF. Melalui LoI, IMF memberikan syarat, oke akan dikasih pinjaman tetapi kamu harus buat UU ini, UU ini, UU ini, yang sesuai dengan selera Amerika.
Dengan demikian Indonesia sudah terbenam. “Satu, penguasanya penguasa boneka. Dua, kita terjerat ke dalam utang yang semakin dalam. Tiga, semakin banyak UU yang disusun sesuai dengan keinginan Amerika,” ungkapnya.
Di samping itu, sejak 1957 atau 1958, Amerika juga sudah masuk ke dalam pembentukan cara berfikir. “Pertama-tama, diberi beasiswa sekolah ke Amerika untuk mengenal apa itu kapitalisme. Setelah mereka pulang, mereka masuk ke dalam pemerintahan Soeharto untuk membuat UU.”
Jangan lupa, lanjut Revrisond, pada saat yang sama, mereka juga masuk ke dunia pendidikan. Lalu dari sanalah mereka mulai menyusun kurikulum, silabi, termasuk dengan memperbanyak pengiriman tenaga-tenaga pengajar untuk belajar ke Amerika Serikat.
Kembali ke Indonesia, mereka mengembangkan pendidikan tinggi dengan arah yang sangat jelas yaitu sebagai bagian praktik penguasaan Amerika Serikat di Indonesia, untuk semua disiplin.
“Dengan demikian, tidak hanya pemimpin dan UU-nya, perekonomiannya tetapi juga cara perfikirnya pun sekarang sudah bisa dikendalikan,” pungkas Revrisond.[] Joko Prasetyo

13 Maret 2014

Bukti Berpihak kepada Asing, Panas Bumi Ciremai Diserahkan ke Chevron


Bukannya dikelola perusahaan negara — Pertamina, yang terbukti mampu mengelola panas bumi di Kamojang— panas bumi Gunung Ciremai malah diserahkan kepada perusahaan asing Chevron. “Itulah bukti yang kesekian kalinya bahwa rezim ini lebih berpihak kepada asing,” ungkap Pengamat Ekonomi Arim Nasim kepada mediaumat.com, Ahad (9/3) melalui pesan singkat.
Rezim antek penjajah ini pun pandai berkilah, ketika publik mempermasalahkan rencana penyerahan tersebut dengan menyebut negara jual Ciremai Rp 60 triliun, Kementerian ESDM membantahnya dengan menyatakan Ciremai tidak dijual.
“Betul memang gunungnya tidak dijual tapi menyerahkan potensi panas bumi dirampok oleh Chevron, perusahaan Amerika Serikat,” beber Arim.
Menurut Arim, seharusnya panas bumi tersebut dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan dijual kepada asing. Namun, hal itu jauh panggang dari api selama sistem tidak diganti. “Saatnya ganti rezim dan sistem kapitalis dengan syariah dan khilafah!” tegas Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut. (mediaumat.com, 10/3/2014)

Pertamina Sanggup Garap Ciremai, Mengapa Chevron yang Menang?


PT Pertamina (Persero) dinilai mampu untuk menguasai aktivitas eksplorasi panas bumi di Indonesia. Syaratnya, pemerintah harus berkomitmen serius untuk mendukung Pertamina dan perusahaan nasional lainnya secara nyata.
Pengamat Energi Komaidi Notonegoro mengatakan, Pertamina hanya terkendala masalah dana yang disebabkan tak adanya dukungan pemerintah. Pasalnya, tidak seperti negara-negara lain semisal Malaysia yang menganakemaskan Petronas sebagai perusahaan migas nasional.
Komaidi melukiskan, di Malaysia, pendapatan yang dihasilkan Petronas diputar untuk berinvestasi kembali untuk mengembangkan bisnis. Sedangkan di Indonesia, keuntungan Pertamina dimasukkan sebagai pendapatan negara.
Sebelumnya, Chevron memenangi tender wilayah kuasa pertambangan (WKP) di Gunung Ceremai. Komaidi menilai, Pertamina mampu dan sanggup untuk mengelola lahan tersebut.
Pemerintah, kata dia, seharusnya memberikan potongan dividen kepada Pertamina. ”Dari seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 50 persen dividen untuk negara berasal dari Pertamina,” kata dia kepada Republika, Selasa (4/3) sore.
Menurut Komaidi, aktivitas eksplorasi panas bumi Pertamina sudah teruji di Kamojang. Artinya, sebagai ujung tombak negara di sektor energi sudah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan gerak kepada Pertamina.
Salah satunya, lanjut dia, dengan memberikan potongan dividen lebih besar untuk Pertamina. Nantinya, dana tersebut bisa untuk melakukan aktivitas di sektor energi yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat Indonesia. (republika.co.id, 4/3/2014)

Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Setengah Hati


Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta

Salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah kesehatan. Sehebat apapun seseorang, sekaya apapun seseorang kalau dirinya sedang sakit, maka kehebatan atau kekayaan itu menjadi sesuatu yang tidak berarti dalam hidupnya, kecuali kesembuhan itu sendiri.
Mengingat kesehatan adalah hak dasar bagi manusia, maka di dunia ini, hak tersebut sampai dicantumkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 yaitu; “hak kesehatan, hak kesejahteraan, jaminan kesehatan, cacat, janda, menganggur, PHK, hari tua” (Pasal 25 ayat 1). Demikian pula dalam Konvensi ILO tahun 1952 No.102, hak tersebut kembali dicantumkan “hak jaminan sosial, cacat, janda, menganggur, PHK, hari tua”. Indonesiapun kemudian meratifikasinya dalam UUD 1945 amandemen ke-4 tahun 2002 Pasal 28H ayat 3 “jaminan sosial adalah hak setiap warga negara”. Juga dalam Pasal 34 ayat 2 “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat..”dan ayat 3 “Negara bertanggung jawab  atas  penyediaan  pelayanan  kesehatan  dan  pelayanan  umum  yang layak”. Berdasarkan amanat inilah kemudian lahir UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) dan diberlakukanlah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari lalu.
Kita masih sering mendengar ada pasien yang ditolak rumah sakit gara-gara tidak punya uang, kita juga masih melihat ada bayi yang tidak bisa dibawa pulang ibunya gara-gara belum melunasi biaya di rumah sakit, dan masih banyak kasus serupa lainnya. Dengan mencermati sebagian pasal di atas, rasanya sebagai rakyat awam kita akan merasa lega, sebab urusan kesehatan akan dijamin/tanggung/diurus oleh negara. Namun setelah didalami lebih jauh, ternyata ada sesuatu yang ganjil. Pertama, jika pasal-pasal dalam UU tersebut di atas mengatakan bahwa kesehatan adalah hak warga negara, mengapa justru bentuknya adalah asuransi? Bukankah asuransi berarti gotong royong alias tanggung renteng, yang artinya masyarakat sendirilah yang akan menanggung/membayar kesehatan mereka? Bukankah asuransi pengertiannya jelas jauh berbeda dengan jaminan? Pasal 19 ayat 1 UU SJSN menjadi bukti nyata bentuk asuransi tersebut; “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Jika bentuknya adalah asuransi, lalu apa bedanya antara negara dengan perusahaan asuransi? Bukankah negara adalah organ yang telah diberi kontrak sosial oleh masyarakat untuk menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya kesehatan? Jelas, kalau bentuknya asuransi pasti akan memberatkan masyarakat secara umum.
Kedua, selain memberatkan masyarakat secara umum, JKN juga semakin menambah beban bagi kalangan pengusaha/swasta, sebab pemberi kerja juga berkewajiban membayari sebagian iuran/premi, yaitu 2% dari setoran asuransi tersebut, sementara yang 3% dari gaji karyawannya. Padahal logikanya jika kita mempekerjakan seseorang, maka mestinya kewajiban kita hanya sebatas membayar upah/gaji berdasar jasa yang dikeluarkan si pekerja. Sedangkan kesejahteraan umum masyarakat, keadilan, pendidikan, keamanan dan hak umum lainnya adalah kewajiban/tanggung jawab  negara. Sudahlah harus menggaji, para pengusaha/swasta juga dituntut untuk menjamin kesehatan, kesejahteraan, serta pendidikan mereka pula. Dan sudah pasti efek berikutnya akan kembali kepada masyarakat, sebab komponen tersebut nantinya akan diikutkan menjadi bagian dari ongkos produksi. Konsekuensinya harga barang atau jasa pasti menjadi naik/lebih mahal.
Ketiga, JKN bersifat wajib bagi seluruh masyarakat. Padahal mestinya mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk jaminan keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan hak umum lainnya adalah hak yang seharusnya diperoleh setiap warga negara alias kewajiban negara untuk mewujudkannya. Bukan justru sebaliknya kewajiban sendiri-sendiri bagi setiap warga negara. Jika yang terjadi demikian, maka pertanyaan sederhananya adalah lalu dimana peran negara, untuk apa negara ini ada tapi enggan menjamin warga negaranya. Dan ini jelas bertentangan dengan konsep yang dituangkan dalam UU di atas.
Oleh karenanya perlu terobosan baru dari pemerintah agar jaminan kesehatan nasional benar-benar jaminan yang berasal dari negara, bukan dari iuran/asuransi rakyat. Salah satu caranya misalnya dengan menjadikan pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang atau migas yang hari ini 86%-93% pengelolaannya di pegang asing (Saparini, 2009), dikembalikan pengelolaannya ke tangan negara. Yang dengan itu hasilnya dapat dikembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk jaminan kesehatan serta jaminan lainnya. Bukan jaminan setengah hati seperti ini. Wallahu a’lam

Disfungsi Negara dalam Kesejahteraan Buruh


Agung Dwi Sutrisno, Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta

Janji aksi akbar buruh pada 1 Mei benar-benar terjadi, puluhan hingga ribuan buruh melakukan aksi di berbagai daerah di Indonesia. Dari aksi yang damai hingga yang anarkis. Setidaknya dari demo ada beberapa tuntutan yang mengemuka. Pertama adalah kenaikan upah, kedua tuntutan agar 1 Mei dijadikan hari libur nasional, ketiga penghapusan sistem outsourcing, dan keempat adalah pemberlakuan segera sistem jaminan sosial yang sudah diundangkan.
Tuntutan kenaikan upah senantiasa mengemuka dalam setiap aksi buruh, sebab sepanjang hayat negri ini laju inflasi nyaris tidak pernah turun. Artinya, andai pernah ada kenaikan gaji sebelumnya sekalipun, pasti akan terasa berat untuk memenuhi tuntutan hidup pada bulan-bulan atau tahun berikutnya akibat adanya inflasi tersebut. Belum lagi ditambah faktor lain semisal kenaikan harga BBM dan lain-lain yang berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Dalam hal ini peran pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional menjadi sangat penting, sehingga inflasi dapat distabilkan bahkan justru diturunkan.
Sementara tuntutan agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional memang wajar mengingat sebagian besar penduduk Indonesia sesungguhnya adalah buruh. Sebab menurut UU No. 13/2003 buruh didefinisikan sebagai orang yang bekerja dengan menerima upah atau  imbalan dalam bentuk lain. Menurut definisi tersebut  pada dasarnya semua orang yang bekerja baik di perusahaan atau di luar perusahaan dan menerima upah atau imbalan adalah buruh. Jika definisi tersebut ditafsirkan sederhana, maka mulai penyanyi dangdut, tukang sapu, pegawai pabrik hingga profesor juga terkategori buruh. Inilah mengapa tuntutan tersebut bisa dikatakan wajar. Hanya saja jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari semua tuntutan buruh, yaitu kesejahteraan maka memang tidak terlalu signifikan.
Sedangkan tuntutan agar dihapuskannya sistem outsourcing, selama ini memang tetap menjadi dilema. Di satu sisi tingkat pengangguran di Indonesia tinggi sehingga banyak masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Di sisi lain perusahaan atau pengusaha juga merasa keberatan jika sistem kerjanya berkelanjutan (bukan kontrak), sebab pengusaha diberikan beban oleh undang-undang untuk turut serta dalam memberikan jaminan kesehatan bagi pekerjanya, jaminan hari tua, uang pesangon dan lain-lain. Sementara dengan sistem outsourcing, pengusaha tidak prlu menanggung selain upah dan uang makan atau lembur yang memang sudah menjadi haknya buruh. Dan ini tentu akan memberatkan pengusaha, sementara buruh juga merasa dirugikan. Guna menjembatani hal ini pemerintah lalu membuat kebijakan berupa sistem jaminan sosial nasional (berupa UU SJSN).

Disfungsi Negara
Tidak tuntasnya permasalahan buruh lebih disebabkan oleh saling kuatnya tarik menarik diantara pihak yang berkepentingan. Di satu sisi buruh /karyawan kontrak menginginkan hidup yang layak, adanya jaminan kerja yang berkesinambungan, kenaikan upah yang minimal setara dengan kenaikan biaya hidup, adanya jaminan kesehatan dan pensiun. Di sisi lain pengusaha menginginkan adanya keuntungan optimal dengan jumlah peningkatan yang signifikan dengan salah satu opsinya menekan ongkos UMR mapun UMK, sementara peningkatan kinerja buruh meningkat semaksimal mungkin. Selain itu pengusaha juga menginginkan upah yang diberikan pada buruh benar-benar hanya mencakup upah perjam ditambah uang makan, tidak termasuk  uang pensiun dan jaminan kesehatan, juga adanya ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai dan murah dan kelangsungan hidup perusahaan yang positif.
Sedangkan Pemerintah selama ini hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator semata. Padahal fungsi Negara seharusnya adalah sebagai penanggung jawab urusan rakyatnya. Artinya jaminan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dalam hal sandang, pangan, papan termasuk jaminan adanya pekerjaan adalah kewajiban Negara dan hak yang seharusnya didapatkan rakyat. Sementara faktanya, kini jaminan-jaminan tersebut justru dibebankan oleh Negara kepada pengusaha dan buruh sekaligus. Dalam UU SJSN misalnya, jaminan sosial yang ditawarkan pemerintah adalah dalam bentuk asuransi, yang dananya diambil dari uang para peserta (buruh) itu sendiri (pasal 17).
Jika fungsi Negara benar-benar jalan, maka di satu sisi pengusaha tidak akan terbebani oleh kewajiban menanggung jaminan-jaminan kesejahteraan buruhnya. Di sisi lain, jaminan-jaminan sosial berupa sandang papan, pangan, kesehatan dll, akan diperoleh buruh dari Negara. Sayangnya fungsi inilah yang rupanya tidak jalan di negri ini. 

** dimuat di Harian Jogja, 2 Mei 2013

Menyambut Publikasi Karya Ilmiah Sarjana



Menyambut Publikasi Karya Ilmiah Sarjana
Agung Dwi Sutrisno*
Baru-baru ini, di kalangan para dosen mendapatkan edaran surat Dirjen Dikti terkait dengan publikasi ilmiah sarjana, master dan doktor. Dalam surat  tersebut diungkapkan, yang menjadi latar belakang adalah karena jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi di Indonesia yang masih rendah, yaitu sepertujuhnya Malaysia. Memang tidak disebutkan dalam surat edaran tersebut mengapa Malaysia yang menjadi ukuran. Mungkin saja barangkali karena dulu merekalah yang justru belajar dari kita. Meskipun saya menduga ada latar belakang lain selain yang dinyatakan dalam surat  tersebut.
Terlepas dari latar belakang yang tidak diungkap dalam surat tersebut, memang pasti ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah lulusan yang dihasilkan akan lebih maju selangkah, karena dipaksa untuk menghasilkan publikasi karya ilmiah-yang selama ini hanya dilakukan beberapa mahasiswa, dari ratusan bahkan ribuan mahasiswa di setiap perguruan tinggi-. Kedua, dosen pembimbing menjadi lebih terpacu dalam mengawal tulisan ilmiah mahasiswa yang selama ini tidak atau jarang dipublikasikan. Sebab, kalau dipublikasikan juga akan membawa nama baik dosen dan institusinya.
Dampak negatifnya tentu akan menambah jangka waktu kuliah. Sebab, yang selama ini tanpa publikasi ilmiah saja, sekali penulisan tugas akhir/skripsi untuk tingkat sarjana rata-rata membutuhkan waktu satu semester. Ini yang tergolong normal, sementara yang lebih dari satu semester juga tidak sedikit jumlahnya. Di sisi lain, tugas dosen tentu menjadi bertambah, sehingga porsi mendidik dan mengajar barangkali akan menyita waktu lebih banyak dari pada untuk penelitian atau pengabdian masyarakat.
Dari dampak tersebut, tentu harapannya dampak negatif akan semakin diminimalkan dan dampak positiflah yang akan terus dikembangkan. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kesiapan dari pemerintah, perguruan tinggi, dan mahasiswa dalam menghadapi kebijakan baru ini? Toh barangkali belum semua mahasisa atau dosen mengetahui kebijakan baru ini. Oleh karena itu, kalau kemudian ada slogan yang seringkali kita dengar bahwa “teknis itu mengikuti gagasan”. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa siap teknis yang sudah dirancang oleh pemerintah dan perguruan tinggi dalam mewujudkan gagasan tersebut?
Apalagi kini pemerintah juga menyadari bahwa perguruan tinggi mempunyai kluster/kategori yang beragam berdasarkan penilaian kinerja penelitiannya (salah satunya penilaiannya adalah publikasi karya ilmiah). Ada yang terkategori perguruan tinggi mandiri, utama, madya, dan binaan serta politeknik. Bagi perguruan tinggi mandiri, barangkali untuk mewujudkan kebijakan baru tersebut tidaklah terlalu kesulitan, mengingat secara umum publikasi ilmiah atau kinerja penelitiannya sudah dianggap seatle. Sementara semakin ke kategori yang terbawah, yaitu perguruan tinggi binaan, tentu masalahnya akan menjadi lain. Sudahlah kinerja penelitiannya belum seatle, kok malah harus mewajibkan lulusan sarjananya menghasilkan publikasi ilmiah. Ditambah lagi jumlah perguruan tinggi yang  belum mencapai kategori mandiri atau utama bukan hanya puluhan, tapi mayoritas perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Belum lagi kalau kita bicara yang lebih teknis, baik teknis pengeditan dari sisi isi tulisan dan format tulisan, pencetakan, pelatihan editor, sertifikasi editor, insentif, dll. Kalaupun ada alternatif jurnal ilmiah online, nampaknya apa yang diungkapkan Mendikbud M Nuh (Harjo, 16/2) juga belum memperlihatkan kesiapannya. Yang jelas, jika sampai saat ini belum ada gambaran jelas mengenai “teknis yang mengikuti gagasan” tadi, rasanya terlalu dini untuk diberlakukan bagi mahasiswa yang belum lulus hingga Agustus mendatang. Padahal ini sudah hampir memasuki bulan Maret, artinya hanya tersisa waktu 6 bulan lagi untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Oleh karenanya perlu adanya alternatif-alternatif agar misi pemerintah tetap dapat tercapai, sementara pihak kampus dan mahasiswa juga tidak terlalu kaget dengan kabijakan baru tersebut. Misalnya saja dimulai dari kalangan dosen terlebih dahulu, dalam setiap semesternya minimal harus membuat publikasi ilmiah. Sambil dosen melakukan bimbingan penelitian mahasiswa, publikasi ilmiahnya bisa digarap untuk kepentingan bersama. Artinya, publikasi ilmiah yang nantinya akan diterbitkan, merupakan garapan antara dosen pembimbing dan mahasiswa. Atau hanya mahasiswa dengan nilai tertentu saja yang diminta untuk membuat publikasi ilmiah. Barulah jika sudah agak terbiasa (tidak kaget), semua mahasiswa bisa diwajibkan membuat publikasi karya ilmiahnya.
Apapun jadinya, publikasi karya ilmiah mahasiswa perlu kita sambut. Namun mestinya tidak boleh berhenti sampai di sini, sebab aplikasi temuan ilmiah bagi peningkatan taraf hidup dan taraf berpikir masyarakat, jauh lebih penting dari hanya sekedar publikasi. Lebih penting lagi bila semua masyarakat bisa menikmati pendidikan dari yang dasar hingga perguruan tinggi, bukan seperti menara gading yang hanya bisa ditonton oleh masyarakat. Inilah PR berikutnya yang menjadi tugas pemerintah.

*Dosen Teknik Pertambangan STTNAS Yogyakarta
** dimuat di Harian Jogja, 23 Februari 2012